⚠️ Trigger Warning // Depression//⚠️
..................................
Di antara riuhnya langkah kaki manusia yang menapaki jalanan penuh kerikil basah setelah diguyur hujan semalaman, aku hanya berjalan perlahan dengan bahu bergetar.
Di bawah derasnya hujan yang turun, aku selalu pulang dalam keadaan basah kuyup. Bukan aku tidak menemukan tempat teduh. Namun seperti biasa, tidak ada yang mau berbagi payung denganku, atau mengajakku untuk berteduh lebih dulu. Mereka mengabaikanku, seolah aku tidak ada, seolah aku tidak terlihat.
Aku lebih memilih menikmati dinginnya air hujan yang jatuh membasahi tubuhku, sekalian menikmati rasa sakit yang ku terima atas hinaan para manusia. Tentang mengapa aku hidup, tentang mengapa aku tidak berguna, tentang mengapa aku masih bisa tertawa meski sedang terluka.
Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Dengan luka yang orang lain anggap bukan apa-apa.
Orang lain berpikir, menjadi kuat itu hebat. Namun, setelah mencoba kuat hampir seperempat abad, yang aku temui tentang berpura-pura kuat hanyalah—aku akan sendirian pada akhirnya. Tidak ada bahu yang bisa aku sandari ketika lelah, tidak ada telinga yang mendengarkan ketika aku ingin berkeluh kesah, karena katanya aku kuat.
Saat lelah, aku hanya melakukan dua hal ini, berjalan di bawah air hujan yang turun deras sembari menangis, atau menangis saat malam hari turun gerimis.
Tanpa orang lain tahu, aku itu cengeng. Aku selalu menangis, menangisi aku, menangisi hidupku, menangisi segala kegagalan yang menimpaku. Sebab hanya itu yang bisa aku lakukan untuk mengasihani diriku sendiri dari kejamnya dunia, dari kejamnya menjadi dewasa, dan dari kejamnya mulut manusia.
Lalu, di sinilah aku berdiri, di tengah hiruk pikuk kota yang sangat sibuk meski hujan turun deras. Dari sisian jembatan gantung terhalang beton dan besi-besi berkarat, aku berdiri menatapi debit sungai yang meninggi.
"Alice!" seruan di tengah derasnya hujan dan gemuruh suara sungai itu beradu riuh di kepalaku.
Cekalan tanganku pada sebuah besi berkarat mengendur, seluruh tubuhku lekas gemetar ketakutan. Apa yang aku pikirkan barusan? Kenapa aku berpikiran untuk mengakhiri hidupku? Kenapa aku ingin mati semudah ini?
"Sedang apa di situ? Alice, kemari. Saya ingin bicara denganmu," sambar satu suara yang tidak pernah aku duga akan menghampiriku hari ini.
Satu suara yang akhirnya membuatku berhasil menoleh menatapinya, dengan sorot mata sayup penuh luka di dalamnya.
"Alice, saya tidak tahu seberat apa hidup kamu, tapi saya mohon. Jangan mati. Mati bukan akhir dari segalanya."
Aku juga tau, tapi kenapa aku sebodoh ini? Aku sudah basah kuyup, tersiram air hujan, perasaanku babak belur, dihantam terus-terusan kenyataan yang tidak sedikitpun seindah dalam khayalanku. Kenapa prasangka-prasangka burukku terhadap manusia, terus memenuhi pikiranku. Kenapa aku sepengecut ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...