...........
Aruni mengajakku main lagi.
Mengetahui aku kerja di perusahaan keluarganya, Aruni senang sekali. Padahal dia sendiri katanya ingin melariakn diri. Well, dia pernah melarikam diri, sampai akhirnya aku menemukannya yang kelihatan kebingungan. Padahal katanya, dia tersesat.
Ah, ini hari minggu, harusnya aku meluruskan punggungku di kasur. Tapi karena aku bosan, sepertinya mengiyakan ajakan Runi tidak ada salahnya.
Kami sudah janji bertemu di dapur ice cream lantai satu mall tempat kami bertemu dulu. Ya, hubungan kami menjadi semakin baik setiap harinya.
"Kak Alice!" serunya yang ternyata sudah datang lebih dulu.
Oh sial! Seharusnya aku rebahan saja di rumah. Intensitas pertemuanku dan Malik jadi sesering ini terjadi. Padahal aku malas menemuinya.
"Maaf ya, Kak, si bodoh satu ini ingin ikut kencan kita! Padahal Runi mau cerita banyak hal sama Kakak!"
"Si bodoh?!" Malik berseru, kemudian menyentil jidat Runi yang tertutup poni. "Nggak sopan, kamu! Dan apa ada cerita kamu yang nggak kakak tau?"
Terlihat Aruni mendelik sinis, kemudian dia menggandeng lenganku yang menggantung malas.
"Ada, banyak!" jawab Aruni galak.
Aku tertawa, melihat keras kepalanya si Runi ini.
"Huh? Kenapa nggak cerita sama kakak!" protes Malik membuatku tidak tahan lagi untuk tertawa.
"Ini urusan anak muda! Kak Malik udah om-om, enyah sana!"
Kalimat ajaib Runi, muncul lagi.
"Udah! Kalau kalian berantem terus, mending aku pulang, nih!" aku mencoba melerai, siapa tau berhasil.
"Jangan!" seruan keduanya terdengar kompak, mendengar hal ini kami bertiga tertawa.
"Kak Malik Rese, nih! Udah, ah, ayo jalan!" seru Aruni, kemudian meninggalkan Malik di belakang sana.
"Kak Alice," panggil Runi membuka sesi tanya jawab, aku sudah meyakininya. "Waktu sekolah, kakak pernah naksir cowok, gak? Kalau pernah, gimana caranya rebut pacar orang, kak?"
"Aruni!" pekik Malik membuat gadis itu mendelik sinis.
"Nggak usah ikut campur! Urusan anak muda, inget umur!"
Sialan, tingkah Aruni dan Malik itu selalu berhasil membuatku tertawa. Lihat saja si Malik, dia betulan diam sambil cemberut dan berjalan di sisianku yang lainnya.
Ya, aku diapit oleh Xian bersaudara, keduanya sama-sama suka ribut, seperti adikku dan aku kalau sudah di satu ruangankan.
"Pernah, nggak? Terus cowoknya ganteng, nggak? Pinter nggak? Apa trouble makker? Atau ketua osis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...