🌾🌾🌾🌾
Aku menatapi bayang diri dalam cermin, lalu memprotes diriku sendiri. Berlebihan.
Ini hanya acara tukar payung, lalu menjelaskan apa yang terjadi semalam. Bukan acara tukar cincin, lalu Malik ijab kabul menghalalkanku! Apa aku sakit? Kenapa aku dandan rapih sekali?
"Dress sialan ini malah membuatku berpikir aneh-aneh! Luar biasa!"
Kemudian aku lekas mengganti pakaianku, mengambil sepotong kaus putih kebesaran, yang aku padukan dengan overall skirt denim sebawah lutut.
"Begini lebih oke," ucapku, memuji diri sendiri dalam cermin, setelah memakai pakaian lebih kasual daripada sebelumnya.
Karena Coffee Shop Pandora dekat dengan rumahku, aku hanya perlu mengambil payung, dan memasukkan ponselku pada saku pakaianku. Kemudian, menyelipkan beberapa lembar uang pada belakang case ponselku.
Pukul dua aku sudah rapih—tunggu sebentar, ini bukan aku yang terlalu awal bersiap-siap. Malik yang berkata kalau dia ingin bertemu pukul dua, tidak jadi pukul tiga. Well, aku memang sengaja akan datang telat. Aku tidak mau sampai dikatai--aku menantikan pertemuan kami.
Haha, yang benar saja! Tapi, kalau aku pikir lagi, kenapa aku berdandan begini? Sialan! Malik mengangguku, padahal kenal saja tidak. Bukan tidak kenal, kami hanya baru kenal.
"Wah, anak bapak tumben rapih, mau kencan sama siapa?" pertanyaan bapak yang sedang duduk sambil menonton televisi itu, sukses membuat mataku menggerling malas.
"Ih Bapak! Siapa yang mau kencan!" teriakku ketus membuat bapak lekas tertawa, seharusnya bapak memukulku karena aku tidak sopan.
Namun, kami sudah biasa seperti ini. Seperti teman seumuran. Bapak selalu tertawa setiap kali aku sensi, membahas masalah pria. Satu yang harus diketahui, aku tidak pernah membawa laki-laki ke rumah, selain Mahes. Itu pun hanya mengantarku yang kebetulan sedang sakit.
Mahes yang hari itu bertemu dengan bapak, kemudian mengobrol sebentar. Sangat sebentar, kemudian—oke. Aku sudahi nostalgiaku hari ini dengan masa laluku. Tidak berguna, bikin rindu saja.
"Alice berangkat, Pak. Nggak lama, nanti bentar lagi pulang, kalau pulangnya sore paling Alice ke taman dulu, ngadem."
Lekas bapak hentikan langkahku dengan menyodorkan satu lembar uang kertas berwarna biru, padahal aku sudah telat beberapa menit.
"Buat kamu," kata bapak membuatku bingung bagaimana cara menolaknya.
Karena tidak punya alasan yang bagus untuk menolak, aku terima saja. Hehe. "Terima kasih, Alice pergi dulu, Pak Bro!"
Bapak menggeleng pelan melihat tingkahku barusan. Selepas melangkah keluar rumah, ponselku bergetar beberapa kali. Nama Malik terpampang jelas di balik layar ponselku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...