45 • Cemburu, ya?

78 30 0
                                    

Boleh dikatakan, kalau hubunganku dan Malik adalah tanpa status

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Boleh dikatakan, kalau hubunganku dan Malik adalah tanpa status. Dekat, tapi bukan sepasang kekasih. Malik juga tidak memberi harapan palsu, sebab restu sudah dia kantongi.

Tentang Tuhan, bukannya aku mau melupakan, tapi bagaimana cara bicaranya, ya? Intinya, Alice hanya sedang menjalani alur kehidupannya. Kalau pun saat ini dia salah jalan, meski dengan konsekuensi harus berpisah pada akhirnya, mungkin aku bisa sedikit paham. Bukan, aku bisa mengerti, dan belajar untuk ikhlas lagi.

Kalau ada peganti yang lebih baik nanti selain Malik, aku tidak akan percaya. Sebab, versi laki-laki yang aku ingini ada pada Malik sepenuhnya.

Bapak ternyata sudah menunggu aku datang, ada untungnya aku tidak menolak ajakan Malik. Karena Bapak tampak ingin cepat pulang. Ibu sudah mengemasi beberapa barang, dia sempat melihat Malik, tersenyum ramah, kemudian sibuk menerima panggilan. Pasti dari karyawannya di toko. Ibu nekat membuka toko, karena tahu aku izin tidak bekerja.

"Pak, mau makan apa?"

"Pie susu, kemarin kamu nggak jadi bikinin."

Aku tertawa, selain melihat raut wajah bapak, aku juga mengingat betapa kacaunya aku hari itu. Baju basah, bapak pingsan, dan sepotong mentega yang hampir membuatku menangis di minimarket, akhirnya membuatku menangis kencang saat tiba di rumah.

"Alice beliin, tapi Alice harus--"

"Belanja, kan? Saya antar kamu belanja, setelah mengantar Bapak pulang, oke?" Demi Tuhan, Malik ini betulan terlalu baik.

Aku khawatir dia banyak di manfaatkan oleh oknum-oknum tidak tahu diri.

"Nah, karena Bapak ingin pas pulang ada pie, Alice dan Malik belanja saja dulu. Bapak biar pulang sama ibu."

"Loh, katanya Bapak mau pulang bareng Alice," ucapku terdengar seperti anak durhaka.

Kusuma malah mentertawakan aku, aneh, padahal tidak ada yang lucu sama sekali.

"Pantas saja, kan, Aruni tidak percaya kalau kamu sudah dua puluh dua tahun?"

"Ih, kok, jadi bahas umur? Emang umur ngaruh ya, sama pertanyaan Alice tadi?" tanyaku, kini disambut oleh dua tawa dari lelaki yang berada di sampingku.

"Ih, kok, pada ketawa?"

Kesal, tentu saja aku akan merasa demikian.

Begini, aku tidak tahu mereka mengejekku atau bagaimana. Tapi, aku tahu satu hal. Bapak paling suka menjahiliku, membuatku kesal. Tidak peduli aku memarahinya, bapak tidak akan berbalik kesal. Justru sebaliknya. Bapak akan menambah volume tawanya.

Yang tidak aku mengerti, kenapa Malik ikut menertawakan ku?

"Dia masih anak-anak di mata saya, Malik. Kamu lihat? Dia mudah marah untuk hal-hal kecil tadi."

Aku tertawa tidak percaya, apa mereka juga berkomplot untuk membuatku kesal? Baru dua langkah aku menghentakkan kaki di lantai, Malik menangkap tanganku yang terayun di dekatnya.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang