🌾🌾🌾🌾
Aku Malik, dengan senang hati, aku akan mengaku, kalau aku menyukai gadis bernama Alice itu. Gadis yang aku lihat tengah meminum kopi di kafe yang pertama kali aku kunjungi hari itu.
Aku sering melihatnya datang mengunjungi kafe Pandor, sudah sejak lama aku melihatnya, dari mulai ia masih mengenakan seragam sekolah. Sampai kemarin, aku melihatnya mengenakan pakaian yang aku layak sebut pakaian tidur, aku makin menyukainya.
Dia gadis sederhana.
Untungnya, hari itu hujan. Jadi, aku punya kesempatan untuk mengenalkan diri sekalian mendekatinya. Seperti dugaanku, dia bukan gadis yang mudah.
Aku tidak menyalahkan dia, bagaimana caranya memandang dunia. Memang benar, dunia dewasa itu sangat kejam. Dan aku tau, yang dia butuhkan melewati kekejaman dunia dewasa hanya satu. Dia butuh seseorang untuk mendukungnya, untuk menuntunnya, untuk menenangkannya, pun sesekali untuk memeluknya.
Aku mungkin orang asing, tapi aku bersumpah, aku ingin menjadi orang yang Alice butuhkan. Aku ingin menjadi seseorang yang berjalan bersamanya, menjadi tempatnya berkeluh kesah, menjadi tempat untuknya meredam lelah dalam pelukanku. Memang dulu terdengar mustahil, tapi hari ini sedikit demi sedikit hati Alice mulai terbuka untukku. Sepertinya begitu. Aku hanya ingin menyenangkan diri sendiri saja, haha.
"Hey Mal, ngapain lo? Masih ngubek draft calon pelamar baru?" tanya lelaki yang terlihat rapih sekali malam ini.
"Iya Sep, gue lagi nunguin email dari dia ini. Kalau dia daftar, lumayan, kan, gue jadi tau ulang tahunnya kapan?"
Aku bahkan rela membual hal-hal konyol pada karib lamaku ini. Meski terdengar seperti bualan, sebenarnya aku serius, hehe.
"Astaga, ini tugas orang lain, Malik! Ngapain direktur utama turun tangan, dih? Ah, jangan-jangan cewek sendal toilet itu? Cewek yang manggil lo Jamal?" tanya Septian mendapat anggukan kecil dariku.
"Tipe cewek lo berubah drastis gitu, Mal? L Demi anak kecil itu, Aca---"
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Septian, lihat dia bahkan tidak lagi meneruskan kalimatnya.
"Umurnya udah dua puluh satu tahun, anak kecil dari mananya? Kalau niat lo bandingin Aca sama Alice, jangan! Mereka berbeda!" protesanku barusan mendapat hadiah kekehan dari Septian. Dia menertawaiku puas sekali.
"Jangan menyamaratakan tipe lo sama tipe gue, jauh ke banting, Sep!" Malik masih protes, dia terdengar kesal saat karibnya itu menilai Alice berdasarkan latar belakangnya.
"Oke, bro! Sorry! Jangan ngamuk gitu, gue juga tau lo udah suka sama si Alice itu dari dia pake seragam sekolah, kan? Gue juga tau, lo nggak ada pilihan selain menerima Aca. Tapi, pesan dari gue cuma satu, jangan disambat dua-duanya. Alice kelihatan gadis baik-baik, beda jauh sama Aca yang suka labrak sana sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...