64 • Satu Hari Saat Langit Berawan

57 25 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.............................

Dalam kamus Salsa, berhenti itu tidak ada. Dia akan terus mencoba mengacaukan orang yang sudah menjadi targetnya selama ini.

Menjalani hidup sebagai siswa SMP yang terkucilkan, aku tidak pernah bilang pada orang-orang di sekitarku. Aku selalu tersenyum tiap kali bapak diam-diam memberi uang saku tambahan, aku juga selalu tersenyum setiap kali melihat bolu ketan di atas meja makan.

Akhirnya, selama beberapa tahun terakhir ini aku banyak bungkam di sekolah, dan menjadi aku yang gila di rumah ini lelah juga.

Aku mengenal Mahes sejak aku memasuki masa terakhirku di neraka.

Pandora menjadi awal pertemuan kita. Hari itu hari cukup berawan, aku yang malas pulang ke rumah akhirnya mampir ke toko kue yang sudah buka enam bulan lamanya. Awalnya aku ragu pergi ke sana, aku lebih suka makanan pedas, daripada kudapan manis seperti itu. Namun, karena hari ini Salsa merusak hariku lagi, akhirnya aku pergi ke sana.

Di dalam, aku melihat ada banyak sekali anak laki-laki dari sekolah lain. Satu di antaranya cukup menonjol, dan aku tidak mau terpikat dengan rupa lagi. Meski parasnya mencuri perhatian, aku tidak akan percaya pada laki-laki lagi.

Aku duduk sendirian, di pojok kanan kafe dekat jendela. Lalu, setelah lama memperhatikan, ada banyak sekali manusia yang berlalu lalang melewati trotoar seberang. Aku juga melihat Sheril yang terlihat bahagia bersama temannya. Ah, andai aku pergi ke sekolah yang sama dengan Sheril, Ririn, juga Anna, mungkin aku tidak akan terlalu kesepian.

Sampai akhirnya kepalaku terangkat naik, mendengar seseorang mengetuk meja yang aku isi sendiri.

"Gue boleh duduk si sini? Di sana banyak yang ngasep, paru-paru gue nggak kuat," ucap si anak lelaki berwajah tampan itu menyapaku.

"Sakit?" tanyaku datar tanpa ekspresi, kemudian aku memotong cheese roll ini dan menyendok ya ke mulut.

Mataku melotot, kakiku bergerak tidak karuan. Aku tahu ini kuno sekali, tapi aku bersumpah bahwa ini adalah kue terenak yang pernah aku makan.

"Lo sendiri kenapa? Ayan?"

Aku menggeleng, kemudian tersenyum cerah. Rasanya, sepotong cake ini menyelamatkan hidupku yang kelam.

"Kuenya enak banget!" seruku seperti orang norak.

Dan lelaki itu tertawa, melihat bagaimana aku bahagia hanya karena sepotong kue keju.

"Anak SMPN 45 emang cantik-cantik banget kayak rumor, ya?"

Oh my God! Aku kebablasan. Raut wajahku ketika menilai sesuatu itu tidak pernah berbohong, terkadang akan menjadi sangat berlebihan karena reaksiku bisa dikatakan sangat konyol.

"Sendiri aja, nggak ada temennya? Gue awalnya nggak mau pindah ke SMP Cakrawala, tapi sekolah lo terlalu berat buat gue," ucap si lelaki itu tidak aku gubris lagi kali ini.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang