........................
Hari minggu—wah, hari ini terlalu sempurna, untuk aku. Dari semalam, aku menahan diri untuk tidak menghubungi Alice. Ya, aku menghargai keputusannya, tapi aku juga menyiksa diriku sendiri dengan menahan diri seperti ini.
Belum lagi ucapan Allen menggangguku. Aku harus mempersiapkan kata-kata terbaik untuk Paman Ann. Ayahnya Aca. Kini, aku, papah, bahkan bunda juga ikut bersamaku untuk menemui Paman Ann di rumah makan keluarga yang biasa kita kunjungi untuk pertemuan keluarga. Aruni, dia juga ikut, padahal sudah aku suruh diam di rumah. Ah, ini terlalu menyebalkan. aruni mengancam tidak akan memberi tahu kondisi Alice yang semalam dia kirimi pesan. Padahal aku sudah membujuk Aruni untuk memberitahuku, tapi dia bilang rahasia, sampai aku mempertaruhkan jam tangan kesangan yang dia dapat dari lelang setelah mempertaruhkan harga selangit.
Sial, Aruni memang paling tahu cara memeras dompet, dan koleksi-koleksiku.
"Pah, Malik boleh nggak ikut gak, sih?"
"Harus tanggung jawab, kamu nggak boleh jadi pengecut yang nggak tahu bagaimana cara menghargai wanita. Ini cara yang Papah kasih, supaya kamu bisa menjaga apa yang sedang kamu perjuangkan."
Sepertinya, Allen pernah melakukan hal yang sama. Iya, ini seperti yang aku bayangkan. Mungkin, Allen tahu bagaimana sakitnya ketika dia tidak mendapat restu dari orang tuanya, ketika dia hendak mempersunting Aruana.
Jadi, di sini seharusnya Alice tahu, kalau bukan hanya aku yang berjuang untuknya. Tapi, semua orang ikut terlibat untuk kebahagiaanku, untuk dia, orang yang menjadi pilihanku.
Restu? Aku sudah mengantonginya. Justru, di sini hal yang paling sulit adalah meninggalkan apa yang aku yakini selama ini. Aku ingin meyakini apa yang Alice yakini bukan hanya karena aku menyukainya, tapi karena aku sudah yakin kalau Tuhan ada.
Sudah, skip dulu bagian rumit ini. Biar nanti jadi urusanku.
Sekarang, mobil sudah terparkir di restoran rumahan ini. Aku menghela napas beberapa kali. Sempat berpikir untuk apa aku menyerahkan Aca, padahal aku tidak pernah benar-benar menerima kehadirannya selama ini?
"Kak Malik, Kak Alice sakit," ucap Aruni begitu mesin mobil mulai dimatikan.
"Jangan pergi dulu, selesaikan apa yang menjadi masalahmu. Meski kamu tidak pernah memulai, mungkin ini akan mempermudah hal di masa depan." Allen sepertinya membaca isi pikiranku.
Betul, aku ingin menghampiri Alice yang katanya sedang sakit. Aruni ini kenapa membicarakan hal penting itu sekarang, kalau dari tadi mungkin aku bisa kabur lebih awal.
Tapi, Allen ada benarnya juga. Mungkin ini bisa membantuku di masa depan. Aku bisa menjauhkan Aca dari Alice.
"Iya, Pah, Malik selesaikan ini dulu. Selesai ini, biarkan Malik pergi." Allen menepuk pundak lebar anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...