Malik jadi sering mengunjungiku semenjak aku memutuskan untuk tidak menerima tawarannya bekerja di perusahaannya lagi. Hatiku nyaris meledak tiap kali Malik mengunjungiku.
Namun, aku bersyukur. Dari sekian banyaknya orang yang menyayangiku, ada Malik yang berjalan di sampingku. Dia menemaniku, dia menepati janjinya untuk menemani aku sampai aku menemukan titik sembuh. Sekarang sudah menjadi lebih baik, meski terkadang aku masih menangis karena merindukan Bapak.
Oh iya, selesai berbicara dengan Aca, besoknya Malik mengajakku mengunjungi Dokter Catarin. Dia masih memberikan beberapa resep obat untukku, tidak banyak. Insomnia ku berangsur sembuh. Namun, gerdku akhir-akhir ini kumat. Well, ini salahku. Karena aku jarang makan, menundanya bahkan sampai tidak makan seharian.
Aku mengusulkan untuk mengganti seluruh biaya yang Malik habiskan untukku, tapi Malik bilang simpan uangnya untuk hal lain. Aku tidak enak, tapi Malik selalu berkata tidak apa-apa. Ah, sudah. Kenapa pagi-pagi membahas Malik begini.
Aku segera keluar kamar, menutup laptop yang semalam lupa aku matikan. Aku ingin menulis, tapi obat tidur resep dari Dokter Catarin membuat kantukku cepat datang. Tidak apa-apa, ini adalah langkah awal aku bisa menata kembali ulang hidupku yang sudah aku buat berantakan.
Pagi-pagi, aku sibuk memanggang roti untuk kedua adikku, juga Ibu. Kiran bukan lagi ibu yang sering menentang keinginanku. Mungkin bapak juga sudah tersenyum bahagia di Surga sana, melihat bagaimana kamu berdua di sini. Tentu saja, melihat bagaimana sikapku yang mudah marah dan ibu yang sering menghakimi, kini kami.menjadi sepasang anak dan ibu yang saling melengkapi.
Aku lihat, ibu sudah siap dengan pakaian kerjanya. Kali ini, aku menyambut ibu dengan satu pelukan hangat.
"Selamat pagi, Bu. Sarapan pagi ini roti selai cokelat--"
"Kesukaanmu," putus KIran membuat senyumku bertambah lebar.
Aku pikir, dulu ibu bahkan tidak mengenalku, namun di balik sikap suka menghakiminya itu, dia adalah sosok yang mengenali putrinya secara diam-diam. Dia tahu apa yang aku sukai dan apa yang tidak aku sukai. Dia tahu apa yang menghantuiku selama ini. Dia tahu, bahkan satu hari setelah aku pulang kembali, ibu tidur di sampingku. Dia menanyakan banyak hal padaku. Termasuk hubunganku dengan Malik Xian.
"Bagaimana tulisanmu? Jangan terlalu banyak bergadang, makan yang teratur. Ingat, maghmu sudah kronis." aku mengangguk sebagai jawaban.
Kemudian menaruh dua potong roti yang sudah aku beri selai cokelat, seperti kata Kiran--selai kesukaanku. Ya, selain kopi, aku juga suka cokelat.
"Umurmu sudah dua pukuh dua tahun, ya? Bagaimana dengan menikah? Malik sepertinya punya niat serius denganmu."
Lenganku refleks berhenti mengolesi selai untuk kedua adikku yang masih bersiap-siap ke sekolah. Apa malik sudah melakukan pendekatan dengan Ibu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...