38 • Pamit

100 39 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

..................

Malik mengajakku masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan sana, aku tidak sadar sudah menjadi pusat perhatian tadi. Sambil memandangi belanjaan di tanganku, aku tidak berani untuk menatap Malik.

Seharusnya, saat ada kesempatan untuk melarikan diri, aku pergi dari jangkauan lelaki ini. Apalagi setelah tahu ada wanita yang terus mengejarnya, tidak peduli Malik menyukaiku, nyatanya kehadiran Malik mengundang hal-hal yang selama ini aku hindari.

Setiap kali stres, aku mengalami kekambuhan yang berkepanjangan. Ucapan yang merendahkanku itu terus bergentayangan meski bapak sudah memberi tahu aku untuk tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain terhadap aku. Tapi, aku sudah begini sejak dahulu, semenjak orang lain mengejek aku tidak pantas dicintai.

"Al—"

"Kak Malik bisa antar saya pulang? Saya ingin cepat pulang, tapi—" aku tidak meneruskan kalimatku.

Merasa bersalah pada Malik, sekaligus pada diriku sendiri. Seharusnya aku benar-benar melarikan diri, sebelum aku dilukai lagi. Bukan oleh Malik, tapi sumber itu berasal dari aku yang menyukainya.

Aca hanya melakukan hal yang sama, dia terluka karena Malik tidak menyukainya, penyebabnya karena aku. Dan Aca melukaiku, karena perasaan Malik ternyata jatuh padaku.

Lihat, jatuh cinta pada Malik ternyata adalah awal dari segala kesalahan di masa laluku akan terulang.

"Aca melukaimu lagi, ya?"

Tentu saja Malik sepertinya tahu alasan aku menjadi seperti ini. Aku memegangi tali sabuk pengaman dengan gelisah, saat Malik mengambil kantung belanjaanku dan memindahkannya ke belakang.

"Saya sudah mencoba untuk menghiraukan ucapan Aca," ucapku mengeratkan peganganku pada tali yang mengitari tubuh bagian depanku.

"Tapi, semakin saya mencoba melupakannya, ucapan Aca malah membebani pikiran saya. Dia benar mengenai beberapa hal, tapi salah juga mengenai beberapa hal."

Mengatur napasku yang tiba-tiba berdesakan, aku menghela napas beberapa kali untuk meredanya.

"Saya tahu, saya tidak bisa mengendalikan ucapan dan tindakan orang lain terhadap saya, sebab itu diluar kendali saya. Tapi, sulit juga mengendalikan pikiran dan emosi saya," ucapku membuang pandangan ke luar jendela.

Sebab, luka yang tidak ada bekasnya, bahkan tidak bisa aku lihat bagaimana wujud lukanya itu sangat menyakitkan. Di dalam dadaku bergejolak panas, membuat mataku berair, ingin menangis dan terus menangis.

Sebelum terlalu jauh, sepertinya aku harus berani untuk menjauhi Malik. Bukan demi Aca, tapi demi diriku sendiri. Orang-orang seperti Aca harus aku jauhi, tapi penyebab Aca menjadi seperti itu adalah karena Malik. Ya, aku harus menjauhi sumbernya lebih dulu.

Malik membawa mobilnya dengan nyaman, dia tidak terbebani dengan aku yang mungkin tidak banyak bicara lagi. Malik tidak berkomentar sedikit pun karena dia tahu, aku hanya butuh di dengarkan.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang