Waktu aku terbangun, aku sudah ada di sebuah kamar yang sangat luas. 3kali lipat luasnya dari kamarku.Ya Tuhan, aku malu menghadapi Malik. Aku malu, karena Malik melihat sisi terburukku. Tapi demi Tuhan, hal-hal yang memberatiku selama ini akhirnya pecah. Aku akhirnya kalah. Aku akhirnya melukai ibu lebih parah.
Aku tidak tahu ini di mana satu yang pasti, aku tidak mau bertemu dengan siapa-siapa. Sampai akhirnya, bunyi pintu diketuk menyadarkanku. Selimut yang tersingkap lekas aku tarik untuk menutupi wajahku.
"Alice," panggil suara yang selama ini selalu menggema di dalam kepalaku.
Aku tidak menjawab, pintu juga tidak terbuka.
"Alice, saya mau cerita. Kamu mau mendengarkan, bukan? Alangkah baiknya kamu bangun, dan mendengarkan cerita yang belum pernah saya ceritakan pada siapa pun."
Aku terdiam, namun selimut yang menutupi wajahku kini turun. Aku merematnya kuat-kuat, lalu mataku jatuh menatap sebuah telepon kaleng yang diterpa cahaya kekuningan dari jendela kamar yang tidak tertutup gorden.
"Karena takut suara saya tidak terdengar, saya meminta Septian membuatkan telepon kaleng itu. Kamu sudah melihatnya?"
Aku mengangguk pelan, meski mungkin Malik tidak dapat melihatnya. Namun, tali yang terbentang sampai pintu itu membuat jantungku berdebar.
"Tapi sebelumnya, are you feel okay now?" Aku menggeleng pelan, rasa bersalah menelantarkanku pada ruang sepi bernama penyesalan.
Pertanyaan Malik mengambang tanpa jawab, aku masih suka merapatkan bibirku meski sudah kering kerontang begini. Malik memberi ruang untuk aku menghela napas dulu, tanya tadi tidak mendapat jawab selain daripada bunyi jarum jam yang mengitari angka-angkanya.
"Kalau tidak salah, hari itu langit mendung." Malik memulai ceritanya.
"Lalu suara petir membelah langit kehitaman, dan hujan turun. Saya menunggu dengan bodoh di kafe sambil menikmati kue keju, tapi orang yang saya tunggu tidak pernah datang. Awalnya saya takut, tapi melihat bagaimana lelaki yang selalu membuat gadis itu tertawa bahagia, membawa wanita lain di belakang motornya, saya langsung berpikir untuk menemui kekasihnya."
Malik menceritakan tentangku. Dia menceritakan hari di mana aku kehilangan Mahes. Selama ini, tidak ada yang Malik tidak ketahui tentangku.
"Saya pikir, jahat sekali lelaki itu. Padahal saat pertama kali gadis itu datang membuka pintu kafe, wajahnya selalu terlihat cemberut. Namun, saat anak lelaki itu menghampirinya, saya merasakan kebahagiaan yang gadis itu rasakan."
Iya, aku percaya diri Malik yang menceritakan tentangku.
"Benar, apa yang Mala katakan. Saya yang membawa kamu ke rumah sakit hari itu. Karena saya marah dan ingin memberitahu kamu tentang seburuk apa lelaki yang kamu kencani, saya menemui kamu di sekolah. Saya beruntung hari itu, karena menemukan teman satu sekelasmu. Dan melihat bagaimana kamu menangis, melihat bagaimana kamu terlihat sangat kesakitan, saat saya melihat kamu menutup mata kamu dengan pipi yang basah, saya berpikir untuk menjaga senyum kamu. Saya berpikir untuk membahagiakan kamu, karena sepertinya saya tidak akan sanggup hidup tanpa melihatmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...