7 • Trouble is a Friend

206 59 0
                                    

🌾🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾🌾

Berbicara tentang dunia dewasa, memang tidak akan pernah ada selesainya. Dewasa hanyalah bagian dari kehidupan di mana aku mengenal yang namanya luka. Dia mudah sekali didapatkan, datang tanpa diharapkan, menetap meski sudah berulang kali aku suruh pulang. Luka itu terasa abadi untukku. Sedangkan Bahagia yang selalu banyak diperbincangkan, rasanya sulit sekali untuk didapatkan.

Dewasa itu hanya rangkaian tuntutan kehidupan, seni menumpuk masalah, pun beban kehidupan yang kian memberatkan, dan menyesakkan.

Lalu aku duduk di sini, di atas teras rumahku yang selalu menjadi tempat aku dan ketiga temanku berkumpul di malam minggu.

Kami habis mengejek Sheril yang baru saja putus karena diselingkuhi. Ck, cinta itu sia-sia, makanya aku tidak mau percaya.

"Namanya cowok, godaannya pasti wanita. Apalagi banyak duit, ganteng, sekuat-kuatnya iman manusia apalagi laki-laki, pasti goyah kalau godaannya cewek cantik, Ril," komentarku, membuat Sheril semakin memajukan bibirnya.

"Si Alice, kalau ngomong suka bener," timpal Anna, yang malam minggu ini tidak ada jadwal kencan.

"Gue nggak percaya cinta!" jawabku percaya diri.

"Tapi pernah modusin laki sampai di kecengin temen sekelas, lalu berakhir nendang pintu di depan crush lo? Itu namanya bukan nggak percaya cinta, Alice. Tapi kapok!" sialnya, Ririn dengan segera mematahkan percaya diriku.

"Ini beda kasus! Gue cuma penasaran, kenapa gue bisa demen sampai rela bego, dan modusin anak orang! Beda lagi kalau kasusnya selingkuh. Bagi gue, selingkuh itu adalah kesalahan fatal yang nggak bisa dibayar dengan kata maaf. Percaya, komitmen, cinta, semuanya jadi percuma!" kataku membuat mereka semua mengangguk kecil.

"Ck, kalau tau diselingkuhin, tinggalin," ucap Anna yang tampak repot dengan ponselnya.

"Kalau nggak dikasih restu, relain? Gitu, kan, cara kerjanya?" pun Sheril balik menyerangnya.

Heran, mereka semua punya kisah romansa untuk diceritakan. Saling mengejek dengan rasa percaya diri tinggi, kalau kisah mereka lebih layak dari yang satunya. Sedangkan aku? Pacar tidak ada, uang tidak punya, yang ada hanya harapan sia-sia yang tidak kunjung menjelma jadi nyata.

"Kalau nggak dikasih restu, usaha. Kalau sama-sama cinta, ya diusahakan, dong!" seru Anna membela dirinya sendiri.

"Mending temenan sama mantan, sih. Ya, kan?" timpal Riri, gadis bermata sipit itu meresahkan.

"Mending kata gue, lo bertiga duduk yang rapih. Gue mau cerita—"

"Paling cerita ketemu cogan di Kafe Pandora!" seru Sheril memutus kalimatku, sialan.

"Binggo! Tapi ceritanya kali ini beda, coba lihat di pojok sana." Aku menunjuk ke pojok kanan dekat bunga kesukaan bapak yang mekar dalam pot hitam.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang