...............
Di perjalan, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku? Jelas saja, aku memikirkan kenapa Malik ikut ke acara kencanku dengan Runi—well, aku ketularan gadis manis itu. Ini hanya pertemuan kami yang kedua kali. Dia seru juga diajak bicara.
Pertemuan kami hari itu, tidak ditutup dengan acara menanyai ice cream kesukaan dan choco vanilla. Kami benar-benar berhenti bicara, setelah Malik membongkar aib Runi saat kecil. Gadis itu marah besar, tapi tidak kapok mengajakku main lagi.
"Tapi, apa Kak Malik nggak keberatan Alice ajak ke pasar? Kak Malik pernah ke pasar, kan?"
Malik tertawa samar, dia tampak keren mengemudikan mobil dengan satu tangan.
"Saya pernah ke pasar waktu umur saya delapan tahun. Waktu itu, di rumah saya sendirian, Papah sibuk di kantor, dia bekerja lembur karena kantor sedang ada masalah saat itu. Ibu saya pulang kampung, ngurus nenek saya yang sakit. Saya ikut bibi ke pasar, terus saya kapok!" alisku lekas berjengkit naik, apa Malik hendak membagikan sebuah cerita seru padaku?
"Kapok? Kenapa? Tempatnya nggak nyaman, ya?" tapi, aku jadi merasa tidak enak, kalau misalkan Malik betulan tidak nyaman dengan pasar.
"Bukan, saya tersesat karena ulah sendiri. Waktu itu Bibi berhenti di tempat ikan, saat dia pergi saya malah terus lihat ikan. Habis itu saya cari Bibi, dan dia juga cari saya. Tapi untungnya kami bertemu di tukang ikan itu lagi. Sehabis itu, saya tidak pernah ikut bibi ke pasar, meski sedang sendirian di rumah."
Aku lekas mengulum senyum, lucu sekali mendengar cerita Malik barusan. Terdengar seperti anak SD kelas empat yang baru menyeritakan masalah tadi pada temannya.
"Kak Malik sering di rumah sendirian waktu kecil?" Lelaki itu mengangguk pelan.
"Ya, begitulah. Ibu saya juga orang sibuk. Meski begitu mereka paling mengutamakan keluarga," jawab Malik terus membelah jalanan kota dengan kecepatan sedang.
"Kalau begitu bagus! Oh iya, Kak Malik masih takut kalau ke pasar?"
"Tidak, saya sudah besar, kalau tersesat saya bisa cari jalan sendiri. Ah, kamu jangan khawatir," katanya, seolah mengetahui kekhawatiranku.
"Ah begitu? Alice boleh kasih saran, nggak? Ini malam minggu, loh. Pasar di sini biasanya ramai. Banyak orang gajihan borong baju karena murah-murah, atau cari makan di sana. Nih, Kak Malik pokoknya harus pegangan terus sama Alice. Tali tas Alice nganggur, jadi Kak Malik bisa pegang itu."
Aku bersumpah, aku tidak modus! Aku hanya merasa tidak enak.
"Boleh?"
Namun, respon Malik malah berhasil membuat bibirku tertaut tipis. Aku tersenyum.
"Tentu saja, Alice takut Kak Malik nyasar." Kemudian Malik juga tersenyum, mendengar perkataanku tadi.
"Oh iya, boleh saya mendengar tentang laki-laki yang kamu ceritakan pada Aruni?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...