56 • Dalam Dekapan Bumi

90 27 2
                                    

Lalu mati, harapanku untuk melihat Bapak sembuh lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lalu mati, harapanku untuk melihat Bapak sembuh lagi. Kabar perginya bapak menjadi penutup hari paling buruk.

Kenapa? Padahal tadi bapak masih bersamaku, padahal tadi aku masih menggenggam hangat lengan bapak. Padahal, detak jantung kami beradu satu di satu ruangan yang sama. Membaur doa, harapan, rasa takut, dan khawatir yang membuat aku tidak tahu harus bagaimana.

Tuhan, kejam sekali takdir ini.

Tuhan, tidak adil sekali hidup ini.

Tuhan, jangan ambil dulu bapak dari sampingku.

Tuhan, kalau kau menyayanginya, bagaimana denganku yang amat sangat menyayanginya.

Tangisku pecah, aku terus menggunakan satu kata ini, bohong! Kabar perginya bapak adalah satu kebohongan yang tidak bisa aku terima.

Aku menangis, raungannya berhasil mengundang banyak orang untuk mengantarkan kalimat, sabar, Tuhan lebih sayang.

Tapi, aku tidak rela! Demi Tuhan, aku belum sanggup ditinggal bapak.

"Bohong! Bapak nggak mungkin ninggalin Alice, kan?" Aku menjerit, dalam dekapan Malik yang juga ikut menangis.

"Bohong! Tadi Bapak masih bersama Alice! Kenapa sekarang dia pergi tanpa pamit lebih dulu?"

"Alice--" Malik mendekapku erat sekali, tidak peduli sakitnya dada yang aku pukuli, Malik mencoba menenangkan ku dalam pelukannya.

Tidak mudah, aku belum mau mencoba menerima kenyataan ini.

"Pak, jangan dulu pergi!" Aku meraung, menjerit sekeras yang aku bisa, tapi nyawa bapak sudah tidak ada dalam raganya.

Di pintu yang terbuka lebar, para pelayat mulai berdatangan, aku lihat samar-samar Sheril datang dengan air mata yang juga mengalir ikut mengantar kepergian bapak.

Semua orang memanggil namaku, semua orang berbela sungkawa atas aku yang kehilangan bapak.

"Pak, Alice mohon," teriakku lagi menangis dalam sesak yang sudah tidak bisa aku jelaskan lagi.

"Tega, Bapak tega, demi Tuhan tega! Alice masih butuh Bapak," ucapku tidak bisa berhenti meminta.

Padahal, jasad bapak masih dalam perjalanan. Beberapa orang mulai bersiap menyiapkan tempat untuk peristirahatan terakhir Kusuma.

"Alice, sabar sayang, kita nggak bisa melawan takdir sejati manusia," ucap Sheril mengambil tanganku yang sudah kehabisan tenaga memukuli dada Malik.

Lalu, hal yang selanjutnya aku lakukan adalah menangis. Semua orang berkumpul untuk menenangkan kami yang ditinggalkan. Anna menenangkan Rora dan di bungsu yang tangisnya tidak kalah parah denganku.

Aku tidak pernah membayangkan akan ditinggalkan secepat ini, karena harapan terbesarku adalah bapak sembuh, sampai melihat bagaimana rambutku ikut memutih sepertinya.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang