53 • Sore Hari di Bulan Juli

64 28 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

......................

Malam hari itu, telepon Malik aku abaikan. Aku lekas berlari ke bawah, melihat kondisi Bapak yang tidak sadarkan diri lagi. Apa jantungnya terinfeksi lebih parah? Atau paru-parunya menjadi semakin bermasalah?

Aku tidak tahu, sebab sebelum fajar datang aku sudah pulang ke rumah bersiap untuk pergi bekerja. Dengan inisiatif sendiri, aku mencoba menelpon Malik yang terus menghubungiku tapi tidak aku jawab.

"Selamat pagi, Kak Malik," ucapku dengan mata mengantuk.

Aku duduk di tepian kasur, mencoba mereda rasa takut yang semakin menjadi.

"Alice, are you okay? Saya mengkhawatirkan kamu."

Malik tidak menghakimiku, meski aku membuatnya khawatir semalaman.

"Nggak baik, Kak. Bapak masuk rumah sakit lagi, Kak. Maaf, Alice udah bikin Kak Malik khawatir," jawabku lesu.

"Kamu tidur nyenyak semalam? Maaf, saya nggak ada di samping kamu," kata Malik membuat gemuruh di dadaku berdebar tenang.

"Sama seperti Kak Malik, gelisah, jadi nggak bisa tidur. Kak Tian sampai tidur di ruang tengah. Dan, nggak apa-apa, Alice ngerti, kok. Kak Malik istirahatnya pasti nggak cukup gara-gara Alice, ya?" ucapku melihat bagaimana Septian tertidur dengan nyaman di ruangan yang biasa bapak pakai untuk bersantai di siang hari.

"Jangan khawatirkan saya, jaga kesehatanmu. Saya akan meneror kamu, kalau kamu tidak teratur makan. Tidak usah masuk kerja, tidak apa-apa." Perkataan Malik sukses membuat aku tertawa.

Wah, dia punya wewenang luar biasa, tapi aku terlalu sering bolos kerja.

"Nggak apa-apa, saya—"  

"Tidak, jangan bekerja, istirahat saja di rumah."

"Apa nggak apa-apa?"

"Tentu saja, saya yang mengatur perusahaan, setelah rapat ini selesai."

Padahal aku tahu, Malik hanya membujukku. Tapi, aku tertawa mendengar kesombongannya.

"Baiklah, kalau begitu cepat selesaikan pekerjaan di sana. Cepat pulang."

Bunyi dehaman di sana membuat aku tersenyum kecil, Malik mengerti maksudku. Ya, aku ingin dia cepat pulang, dengan egois yang aku punya.

"Saya sudahi, ya? Saya harus berangkat kerja sekarang."

Dengan bodohnya aku mengangguk kecil. "Iya, Kak Malik jaga kesehatan. Jangan sampai sakit. See you, and Miss you."

Jantungku berdebar kencang setelah mengucapkan kalimat tadi. Gila.aku sudah gila.

Sampai akhirnya, nostalgia ku mereda ketika nama Ibu tertera di layar ponselku.

"Alice, bisa urus toko sebentar? Bapak di opname, ibu akan tinggal di sini menjaga Bapak."

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang