43 • Melodrama

83 38 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

........................

Setelah mengantarku pulang sore hari saat sinar matahari kejinggaan menjadi cahaya dalam perjalanan pulang, aku melihat bagaimana Malik meraih tanganku dan melingkarkan sebuah gelang berwarna perak. Sampai tengah malam, aku tetap terjaga memandangi perak cantik ini.

Aku kepikiran bapak yang masih mendapat perawatan di rumah sakit. Tampaknya, Aruni berhasil mengambil hati bapak. Dia terlihat senang, meski malamnya dia terlihat tenang saat memejamkan matanya.

Ya, aku bergantian jaga dengan ibu. Suara pintu diketuk akhirnya menghancurkan imajinasi sempurnaku tentang Malik. Aku hendak menjaga jarak, tapi benda ini malah mengikatku untuk tetap berada lebih dekat dengan Malik.

"Kak, Sara masuk, ya?" Ternyata adikku belum tidur, padahal ini sudah pukul setengah satu malam.

"Kenapa?" tanyaku, kemudian membiarkan adikku duduk di tepian kasur bersamaku.

Tubuhnya aku lihat semakin kurus.

"Udah makan, kan, sebelum belajar tadi?" Sara mengangguk sebagai jawaban.

"Bapak gimana?" Sara ternyata mengkhawatirkan kondisi bapak.

"Kakak lihat penyakitnya masih tetap sama, karena nggak mau makan Dokter tadi ngasih vitamin banyak banget buat Bapak."

"Kak, Bapak bakal sembuh, kan?"

Pertanyaan macam apa itu? Kenapa terdengar sangat menyakitkan untukku.

"Kakak pernah ngerasa takut ditinggalin Bapak, nggak, sih? Apalagi kalau denger napas Bapak, rasanya Sara pengen jadi orang tuli aja."

Karena itu lebih menyakitkan daripada apa pun. Bayangkan saja semengerikan apa hidupku yang selalu diselimuti rasa takut tiap kali hendak tertidur?

"Nggak, karena Kak Alice yakin kalau Bapak bakal sembuh," ucapku bohong.

Siapa yang tidak takut? Aku juga ingin mengucapkan kalimat yang sama dengan Sara, tapi aku tidak ingin menangis lagi.

"Bapak bakal sembuh, percaya, deh, hari itu pasti bakalan datang."

Kemudian, aku merengkuh Sara menepuk pelan punggungnya sambil menahan sesak yang aku tahan. Padahal, aku ingin menangis seperti Sara.

Dalam riuhnya isi kepala, aku mencoba meredam satu suara yang terus mengutukku. Satu kalimat tanda tanya yang terus berenang di dalam kepala. Kenapa aku terlambat untuk melakukan hal-hal yang mungkin bisa membahagiakan bapak? Kenapa aku tidak menjadi sedikit lebih berguna?

"Kamu kenapa tiba-tiba bahas Bapak?" tanyaku melihat bagaimana wajah cantik Sara yang kurang tidur. "Ada yang ganggu kamu?"

"Sara cuma takut, udah berapa tahun Bapak sakit? Bukannya sembuh, penyakitnya malah bertambah banyak. Sudah paru-paru, jantungnya terkena infeksi, magh akut, banyak sekali sampai aku bertanya-tanya bagaimana rupa rasa sakit yang Bapak tahan selama ini."

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang