Mataku terbeliak lebar, iris mataku bergetar, berpendar mencari satu titik hangat pada ruang gelap ini. Wah, aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam alam bawah sadarku. Wah, waktu ternyata sudah berlalu terlalu jauh. Aku sudah kehilangan Malik lama sekali, dan hari kemarin aku baru mendengar ucapan maaf dari Salsa.Sedikit lega, tapi ternyata yang mengganjal selama ini bukan kata maaf dari Salsa. Karena aku memang benar-benar sudah memaafkannya, meski kenangan buruk yang Salsa beri padaku, cukup membuat aku trauma sampai hari ini. Ternyata, selama ini aku gagal mengikhkaskan kepergian Mahes. Ternyata, aku terlalu banyak menyalahkan diri, dan lupa meminta maaf karenanya.
Aku bangun dari tempatku, kemudian aku melihat bayangan diri dalam cermin. Berantakan. Tubuhku terlihat semakin kurus, nafsu makan hilang, yang aku lakukan seharian adalah menatapi langit-langit kamar tanpa tidur semalaman.
Sampai akhirnya manik mataku menemukan satu bingkai yang berisi potret kebersamaanku dengan Mahes. Potret di mana ada bukti, kalau kami pernah bahagia di masa lalu. Di samping itu, aku melihat potret aku yang berusia lima tahun, tubuh bapak belum setambun waktu aku sudah dewasa.
Aku tersenyum, kemudian mengambil bingkai itu dalam pelukanku. Menyalakan lampu kecil di samping diari usang, aku duduk dan membuka lembaran kekuningan di sana.
Semenjak kepergian Mahes aku banyak menulis tentang bagaimana aku kehilangan bahagiaku, dan lembaran demi lembaran berganti, aku tidak menyangka kalau aku akan menulis bagaimana aku kehilangan duniaku setelah kehilangan bapak.
Satu hari berlalu, awan masih kelabu
Sampai waktu terus berlalu, rindu itu tetap bersemayam di dadaku
Pak, kau tahu?
Hari-hari yang aku lalui tanpamu,
Aku tidak pernah terbiasa dengan itu
Aku tidak pernah terbiasa hidup tanpa mendengar ocehanmu
Aku tidak pernah terbiasa hidup tanpa bapak di sampingkuSemuanya tentang aku, dan rindu untukmu
Berisi tentang aku yang merindukan masa lalu
Berisi tentang puing-puing rinduku untukmu
Aku rindu waktu dulu.Aku terus menulis puisi, menceritakan betapa indahnya hidupku waktu bapak masih ada di sisiku. Playlist baladku makin bertambah.
"Kakak kamu masih tidur?" Sayup-sayup aku mendengar suara ibu di luar sana.
"Dia bilang dia sayang ibu, tapi kenapa kerjaannya tidur melulu." Bukankah membantu ibu di rumah sudah cukup sebenarnya?
Aku hendak pergi ke luar, namun satu perkataan ibu berhasil mematahkan niatku.
"Memang dari dulu tidak berguna, semakin merepotkan. Jangan lupa ingatkan kakakmu makan, magh dia mungkin bertambah buruk setiap harinya."
Aku terisak tanpa suara, kata-kata ibu melukaiku lagi. Kali ini, tidak ada yang akan berhasil membujukku. Baiklah, aku akan sama keras kepalanya seperti ibu, aku akan mengikuti alur permainan ibu sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...