17 • Ini Mimpi, Ya?

147 48 0
                                    

🌾🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾🌾

Bagi penderita insomnia sepertiku, bisa tidur dibawah pukul satu malam tanpa obat tidur, adalah salah satu hal yang bisa ku sebut keajaiban.

Ya, ajaib. Pukul dua belas lebih empat puluh dua menit aku sudah terlelap. Waktu di mana aku biasa menghabiskan waktu dengan berkhayal, sembari mendengar helaan napas bapak yang terdengar sesak, malam itu aku cukup tertidur dengan nyenyak.

Pun sekarang, pagi pukul enam, kakiku sudah berpijak di antara embun tipis yang masih terlihat. Waktu yang hilang di masa lalu, aku mendapatkannya kembali. Bukan, lebih tepatnya aku sedang memperjuangkannya kembali.

Pagi tadi, aku lihat bapak lebih bersemangat daripada aku. Sambil menyodorkan teh manis hangat buatan ibu, bapak bahkan menatapiku yang sedang sarapan sambil tersenyum.

Aku harus menyetop angkot di depan garduku, biasanya angkot pagi-pagi begini selalu penuh. Entah itu karena buruh yang pergi ke tempat kerjanya, ibu-ibu yang hendak pergi belanja ke pasar, atau mungkin anak sekolah yang siap menimba ilmu. Tentu saja, aku tidak boleh terlambat interview hari ini. Jangan sampai.

Oh iya, selain membicarakan tentang choco vanila malam itu, Malik juga mempertanyakan apa staff personalia perusahaan ayahnya sudah memanggilku. Dan ini rahasia, reaksi Malik saat tau aku dipanggil untuk interview, melebihi bahagianya aku, atau bapak pagi tadi.

Tin ... Tin

"Kakak ipar, selamat pagi."

Mataku membola dengan sempurna, ketika mobil berisikan Aruni yang sudah cantik dengan seragam sekolahnya itu muncul di balik jendela kaca mobil yang terbuka.

"Kamu? Ngapain di sini?" tanyaku kaget.

"Jemput Kak Alice. Tuh, kan, Kak! Apa Aruni bilang, ada untungnya, kan, semalam kita antar Kak Alice?"

Kemudian, aku baru sadar, kalau lelaki bersetelan rapih yang sering aku lihat mengunjungi Kafe Pandora setiap pukul tiga itu adalah Malik.

Hey, hey! Apa kata orang nanti, kalau hari pertama kerja, aku sudah diantar anak yang punya perusahaan?

Bukankah itu sama saja dengan aku menumbalkan diri menjadi buah bibir di lingkungan kerjaku nanti?

"Naik, tidak perlu saya buka pintunya, kan?" kata Malik, lagi-lagi membuat dadaku berdegup.

Kali ini, masih dalam batas normal, sedikit berantakan tapi tidak separah semalam.

"Saya bisa naik—"

"Kak Alice, Runi rela bangun pagi demi ke sini. Tuh, lihat, aku belum sempet sarapan pagi," ucap Aruni, memamerkan sebuah kotak makan.

Namun, yang jadi masalah bukan itu. Hey, ayolah! Dalam drama yang sering aku tonton, punya pasangan—bukan, maksudnya dekat dengan rekan satu kantor itu, selalu menjadi semacam pembicaraan untuk manusia-manusia yang senang sekali ikut campur dengan urursan orang lain. And then, what the—yang dekat denganku ini adalah bosku sendiri.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang