Selesai menandatangi kontrak kesepakatan kerja dengan alasan kesehatan, akhirnya aku resmi menjadi pengangguran lagi. Satu beban yang memberati pundakku rasanya ikut pergi menghilang. Tidak semua, hanya sedikit dari bagian yang sangat besar itu.Malik tidak mengejarku setelah aku mengucapkan kalimat tadi. Dia tampak terkejut, seperti aku yang mendengarnya saat pertama kali. Sebenarnya, aku sudah ingin pergi saat Malik mengajakku bicara, namun kakiku teras kaku, lidahku mendadak kelu, jantungku berpacu seolah ribuan kuda berlari melintasinya.
"Alice!" Padahal aku ingin pergi dengan tenang, tapi kenapa Septian datang lagi setelah aku berlaku tidak sopan padanya.
"Siapa yang ngizinin kamu resign?"
Tidak ada, apa aku perlu izin darinya? Tidak, kan?
"Tidak ada yang perlu saya jelaskan. Bukannya sedari awal sudah saya katakan? Kita terlalu asing--"
"Kamu yang membuatnya asing, Alice. Saya memang tidak mengenal kamu, sebaik diri kamu sendiri. Tapi, bukannya kita cukup dekat, meski hanya duduk menghabiskan secangkir latte sampai dingin? Apa itu tidak ada artinya sama sekali bagimu?"
Kenapa semua orang bertingkah seperti ini, sih?
"Kamu mau pergi seperti hari kemarin? Sendirian lagi? Saya tidak akan membiarakannya, karena saya pernah melihat seterluka apa kamu di hari lalu. Seberapa butuhnya kamu untuk di dengarkan hari itu. Saya minta maaf, karena memeluk kamu bukan kuasa saya. Kamu tahu, kenapa Malik memilih pulang dan menunda kerjasama dengan perusahaan yang selama ini dia inginkan? Karena dia tahu, kamu tidak akan membagi lukamu pada siapa pu itu, termasuk pada Malik yang kamu sukai."
Aku dilema pada titik luka yang tidak tahu harus aku sebut apa. Aku hanya ingin sendirian. Karena berada di dekat orang lain, hanya membuat aku ingin menyalahkan mereka atas segalanya. Aku marah, pada Tuhan yang sangat tidak adil padaku.
Kenapa aku harus kehilangan orang-orang terkasihku lebih dulu, kenapa aku tidak dibiarkan bahagia lebih lama?
"Alice saya—"
"Alice!" Lalu satu suara menyelak Septian yang banyak bicara sekali hari ini.
"Kak Tian tahu?" ucapku mencoba acuh melihat bagaimana Malik yang berlari ke arahku.
"Kedatangan kalian berdua cukup membebani saya, karena kalian berhasil mengusik kehidupan tenang saya. Saya terbebani dengan hutang budi yang harus bayar pada kalian, kebaikan kalian terhadap saya terlalu banyak. Jadi, biarkan saya pergi dan menjadi tidak tahu diri—"
"Ini bukan perihal tahu dan tidak tahu diri, Alice. Jangan bilang balas budi, atau apa pun itu. Malik dan saya mendekatimu bukan ingin mendapatkan balasan dari kamu. Saya temanmu, Alice. Dan Malik mencintaimu, tidak bisakah kamu menyederhanakannya menjadi seperti itu?" tanya Septian membuatku terdiam.
"Kamu boleh marah, tapi izinkan saya tetap berada di samping kamu. Karena saya tidak mau kamu sendirian lagi, seperti kamu di masa lalu."
"Saya pergi," kataku, tapi terlambat, Malik sudah mencekal lenganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...