37 • Dependent

83 40 0
                                    

Tanah di akhir April akhirnya diguyur hujan, membuat aku yang baru saja pulang pukul dua, kini tengah menatap langit-langit kamarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tanah di akhir April akhirnya diguyur hujan, membuat aku yang baru saja pulang pukul dua, kini tengah menatap langit-langit kamarku. Kalah, perasaan takutku kalah oleh  pengakuan Malik barusan. Aku bukan meromantisasinya, tapi sepertinya Malik benar-benar mempunyai mantra sihir untuk membuatku terpikat padanya.

Setelah kehilangan Mahes, aku benar-benar takut jatuh cinta, aku menarik diri dari segala perasaan yang akan tertinggal saat manusia yang berperan dalam hidupku tiada. Iya, benar, aku menjadi terlalu berhati-hati untuk segala hal. Sampai semuanya menjadi batu dan dingin sendirian, hati maksudku. Aku sudah terlalu jahat pada diri sendiri, bukan?

Suara pintu diketuk tiga kali membuat aku gagal memasuki alam mimpi, padahal rintik kecil di sana lebih ampuh membuatku terlelap daripada lagu Nina Bobo.

"Kak Ais," panggil seseorang di luar sana, itu suara Sara.

Nyawaku kembali, tidak jadi berkelana di alam mimpi. Ingin aku marah, tapi melihat bagaimana Sara terlihat lusuh dengan pakaian sekolahnya yang kebasahan membuatku mengurungkan niat untuk memarahinya.

"Kenapa? Mau minta apa?" tanyaku, mengingat hari lalu aku memberi uang seratus ribu untuk uang jajan perjalan Sara, pergi dengan teman sekelasnya.

"Dipanggil Bapak," kata Sara, membuatku lekas bangkit dari kasur lapuk yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk pulang.

"Kenapa? Bapak nggak enak badan?" Sara menggeleng menjawab pertanyaanku.

"Kenapa, sih, bikin khawatir aja," gumamku lekas berjalan menuju ruang tengah untuk menemui bapak.

"Kenapa, Pak?" tanyaku langsung mendaratkan tangan di dahi Bapak.

Hangat, napasnya terdengar kian tersenggal parah.

"Hujan, Bapak jadi ingin pie susu buatan kamu. Kalau capek nanti saja, kamu baru pulang kerja, kan?" Aku menghela napas lega.

Setidaknya Bapak tidak mengucapkan kalimat-kalimat aneh lagi, yang membuat aku berpikiran jelek tentang bapak.

"Bapak bilang aja, Alice bikinin sekarang," ucapku kemudian bergegas menuju dapur.

Mengecek bahan-bahannya, dan ternyata aku kehabisan bahan makanan. Semenjak bekerja, aku jarang membuat makanan. Kecuali tempo hari saat aku memberi cookies untuk Malik.

Dengan langkah tergesa, aku kembali menghampiri bapak.

"Habis Pak, bahan-bahannya. Alice beli dulu, ya?"

"Hujan, nggak usah, istirahat aja sana."

Aku tersenyum tidak mendengarkan kata bapak.

"Nggak apa-apa, Alice mau sekalian beli mie pedes." Aku lekas bergegas memasuki kamar.

Mengenakan celana kebesaran berwarna hitam yang aku padukan dengan jaket berwarna sama, aku berniat menerobos gerimis kecil hari ini.

Sudah lama aku tidak membagi air mataku dengan rintik hujan di luar sana, ya banyak hal yang ingin aku tangisi sekarang. Apalagi ucapan Aca benar-benar melukaiku.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang