##Bab 41 Penyelamat

295 23 0
                                    

"Julian, lepaskan! Apa kamu mendengarku?" Febi takut jika terlalu lama Julian akan mati.

Bibir Julian yang tidak ada warna darah bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, rasa sakit yang hebat membuat suaranya sama sekali tidak bisa keluar.

"Apa yang kamu katakan?" Febi dengan cepat menempelkan telinganya ke bibir Julian. Bibirnya terasa dingin seolah-olah tidak ada kehangatan sedikit pun. Febi berkata dengan cemas, "Katakan lagi!"

"Tidak ... pergi ...." Setelah waktu lama, dua kata keluar dari mulut Julian yang terdengar menyedihkan. Sebelum Febi berdiri untuk mengomelinya, dia kembali mengucapkan dua kata, "Penyakit ... lama ...."

Penyakit lama?

Febi berpikir sejenak, lalu segera berdiri dan menarik laci dengan satu tangannya yang tidak dipegang. Ada sebuah laci di samping ranjang. Febi mengeluarkan semuanya, di dalam laci penuh dengan ponsel, pengisi daya dan beberapa dokumen. Pada akhirnya, dia menemukan sebuah botol kecil.

Setelah memeriksa sejenak, itu adalah sebotol pereda nyeri. Sekarang tangan Febi dipegang Julian, dia tidak bisa pergi ke mana pun, jadi tentu saja Febi tidak bisa menuangkan air untuk Julian. Dia hanya bisa menuangkan beberapa pil obat ke kasur dan memasukkan salah satu ke mulut Julian.

Rasa pil obat itu pasti sangat pahit sehingga membuat alis Julian semakin mengernyit. Sepertinya dia hendak memuntahkahnya. Febi mengulurkan tangan dengan tidak sabar untuk menutup bibirnya, "Jangan dimuntahkan!"

Alis Julian semakin mengernyit dan bibirnya yang pucat sedikit bergerak, seolah menolak untuk mengikuti arahan Febi. Namun, saat ini bagaimana dia bisa memiliki kekuatan? Febi tidak tahan. Dia telah melihatnya beberapa kali, kesan untuk Febi adalah Julian selalu terlihat bermartabat dan mulia sehingga sulit untuk didekati, tapi tidak disangka dia juga memiliki sisi yang tidak berdaya.

Lelaki yang semakin gagah dan tegar, saat rapuh semakin membuat orang merasa iba. Bahkan Febi pun merasa kasihan padanya. Dia hanya berjongkok dan berbisik di telinganya dengan nada yang sangat melembut, "Ini adalah obat, jangan dimuntahkan ... ya. Kalau sudah ditelan tidak akan sakit lagi, patuhlah ...."

Febi membujuk Julian seperti sedang membujuk anak kecil, sebelumnya dia juga menggunakan cara ini untuk membujuk ibunya minum obat.

Tidak tahu apakah Julian mengerti kata-kata Febi atau tidak, singkatnya dia benar-benar telah menelan pil itu. Namun, sakit di kepalanya sama sekali tidak berkurang dan bibirnya yang kering sedikit bergerak, seolah-olah dia ingin menelan lebih banyak obat.

Febi tidak memberikannya lagi, dia mengambil obat dengan satu tangan, "Obat ini memiliki efek samping, kamu tidak bisa sembarangan meminumnya. Di mana sakitmu? Kamu sakit kepala?"

Dia hanya mengedipkan matanya sedikit.

"Kalau begitu aku akan membantumu memijit. Kamu santai sedikit, jangan mengeluarkan tenaga." Febi meletakkan satu tangan yang tidak dipegang ke pelipis Julian dan memijitkannya dengan sabar.

"Bagaimana? Apakah kekuatan ini cukup?" tanya Febi dengan lembut walaupun Julian tidak bisa menjawabnya. Febi selalu menundukkan kepala untuk memeriksa ekspresinya, dia mencoba untuk menilai kekuatannya dari ekspresi wajah Julian.

Tidak tahu berapa lama Febi memijitnya, rasa sakit di wajahnya juga berangsur-angsur mereda dan kerutan di antara alisnya sudah tidak begitu kencang. Febi menghela napas lega. Karena Febi takut Julian tidak bisa tidur dalam cahaya terang, jadi dia membungkuk dan mematikan lampu di samping ranjang.

Awalnya Febi ingin menarik tangannya dan kembali ke sofa untuk tidur, tapi bahkan setelah dia tertidur, Julian tetap tidak melepaskannya, seakan menemukan penyelamat ketika dia paling tidak nyaman. Julian menolak untuk melepaskannya.

Febi tersenyum getir, ternyata bukan hanya dia yang ingin mencari penyelamat. Namun, tidak semua orang memiliki keberuntungan yang baik bisa memiliki seseorang penyelamat yang menyelamatkan mereka dari lautan kesengsaraan.

Direktur, Ayo CeraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang