Julian duduk tepat di kepala ranjang, mengulurkan tangannya dan dengan mudah menggendong Febi, membiarkan Febi bersandar di dadanya.
Tubuh Febi diangkat, hingga dia tampak sangat tidak nyaman. Dia mendengus tidak nyaman. Detik berikutnya, Febi berbalik ke samping dan membenamkan wajahnya langsung di antara leher Julian.
Febi seakan mencium napas Julian di dalam mimpinya, alis tipis yang baru saja berkerut, sekarang sudah membaik.
Febi demam tinggi dan pipinya memerah hingga dia terlihat lebih imut. Penampilannya ini sangat menawan, membuat Julian tak tega untuk mengganggunya.
"Aku akan memeriksa suhumu, sebentar saja," bisik Julian di telinga Febi.
Detik berikutnya, telapak tangan yang besar masuk dari kerah piyamanya. Julian mengangkat kepalanya dan melirik ke dokter, dokter itu segera berbalik tidak melihat lagi.
Jari-jarinya yang panjang menyentuh kulit Febi, panas seperti api, membakar sampai ke lubuk hatinya. Julian mengangkat lengan Febi dan menekan termometer di bawah ketiaknya. Julian tidak tahu apakah Febi bisa memahaminya, tapi dia masih membujuk, "Patuhlah, tekan dengan kuat."
Febi tidak bisa mengeluarkan tenaga, tapi dia mendengarkan kata-kata Julian, lengannya mengencang.
Julian benar-benar jatuh cinta pada Febi yang sangat patuh saat ini, tapi Febi sakit sampai membuat orang khawatir. Julian melingkarkan tangannya di lengan Febi, membantunya menekan lengan rampingnya. Febi bersandar di bahu Julian dan terus tertidur.
Semua aroma yang tercium oleh adalah aroma rambut Febi.
Julian sangat menikmati suasana seperti itu. Semua kejadian malam ini benar-benar di luar dugaannya, Julian tiba-tiba bersyukur atas hujan badai dan berterima kasih atas mobil yang mogok di tengah jalan. Jika tidak, saat ini bagaimana mereka bisa saling berpelukan?
"Oke, keluarkan dan lihat," kata dokter, yang menarik kembali akal sehat Julian.
Julian mengeluarkan termometer dari ketiak Febi dan menyerahkannya kepada dokter, "Bagaimana, apakah demam tinggi?"
Sambil bertanya dengan cemas, Julian membelai rambut yang basah kuyup di dahinya. Dahinya masih sangat panas.
"Demamnya sangat tinggi, suhunya 40 derajat."
40 derajat?
Julian mengerutkan kening. Dalam cuaca buruk seperti ini, Nando bahkan bisa meninggalkannya, sebenarnya alasan apa dia tetap tinggal di rumah itu?
"Apakah kamu akan meresepkan obat atau menyuntik?"
"Minum obat dulu. Lalu, ambilkan handuk dingin untuk mengompres. Kalau demamnya tidak hilang besok, belum terlambat untuk menyuntik."
"Oke, kalau begitu tolong cepat," desak Julian dan meminta Febi untuk berbaring di ranjang. Namun, Febi sepertinya lebih menyukai pelukannya. Saat tubuhnya dipindahkan, jari-jarinya mengepal erat di leher jubah mandi Julian.
Hati Julian terasa hangat. Sambil memegang tangan kecil Febi, Julian mencium daun telinganya yang berapi-api dengan sedih, "Lepaskan dulu, aku akan mempersiapkan obat, sebentar lagi kamu harus minum obat."
Dalam keadaan linglung, Febi membuka matanya sedikit dan melirik Julian. Julian juga menatapnya.
Keduanya saling bertatapan, seakan ada kabut yang dalam di mata Febi.
"Ada apa?" Julian tidak yakin apakah Febi sudah bangun. Bibirnya yang kering dan panas bergerak sedikit. Setelah beberapa saat, Febi mengucapkan beberapa kata dengan suara serak, "... Apakah itu kamu?"
"... Siapa aku?" Julian tidak menjawab, tapi dia malah balik bertanya. Julian khawatir Febi yang demam akan salah mengenal orang lagi.
Tiba-tiba, Febi tertawa. Pada saat ini, suasana sedih sepertinya menghilang. Febi hanya bergumam dua kata dengan linglung, "Julian...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Direktur, Ayo Cerai
RomanceDua tahun lalu, di bawah mata cemburu semua orang, dia menikah dengan putra Keluarga Dinata dan menjadi orang terhormat. Namun, tidak ada yang tahu dua tahun kemudian, dia yang sudah menikah masih adalah seorang gadis .... Pada hari itu, dia dijebak...