##Bab 19 Penghinaan Besar

329 16 0
                                    

Febi membuka pintu dengan tubuh lemah. Bella berdiri di pintu sambil meliriknya, "Apakah kamu tidak ingin mandi? Cepat pergi periksa ke rumah sakit! Aku sudah membuat janji untukmu."

"Bu..." Kata-kata penuh semangat baru saja dia lontarkan dua hari yang lalu, sekarang dia ingin menarik kembali ucapan itu.

"Apakah kamu tidak berani pergi?" Bella bertolak dada dengan tidak sungkan. "Tidak apa-apa kalau kamu tidak pergi, kamu dapat menelepon Nando sekarang dan memintanya pulang. Aku akan menemani kalian ke Kantor Sipil."

Bella melirik ke kamar, lalu melihat ke ranjang yang kosong. Bella tidak bisa menahan diri untuk berdecak dan menggelengkan kepalanya, "Kamu bahkan tidak bisa menjaga suamimu, kamu benar-benar gagal sebagai seorang istri!"

Kata-kata penghinaan itu seperti tamparan yang menyakitkan di wajah Febi. Setelah jemarinya yang ramping mencengkeram gagang pintu dengan erat, dia baru berhasil menekan emosi yang melonjak di dadanya. Jelas-jelas sedang musim panas, tapi Febi merasa seluruh tubuhnya sangat dingin.

...

Rumah Sakit.

Febi duduk sendiri di kursi koridor yang gelap, di samping Febi dikelilingi oleh banyak pasangan. Gadis-gadis muda itu juga merasa takut karena akan menghadapi situasi yang sama dengan Febi. Pasangan mereka merangkul gadis-gadis itu, membujuk dan menghibur mereka dengan lembut.

Suaranya penuh dengan kesedihan dan kasihan.

Hanya dia ....

Hanya dia ... yang sangat menyedihkan .... Sungguh menyedihkan ....

Apakah suaminya juga bersikap lembut seperti ini pada wanita bernama Vonny?

Tanpa sadar, dia mengepalkan tas di tangannya, berusaha membuat dirinya lebih kuat, tapi kecemburuan dan kekesalan di hatinya tidak bisa menipunya.

"Nomor 23, Febi Pranata!"

Ketika perawat di ruang USG memanggil nomornya, Febi baru tersadar dari lamunannya. Dia berdiri dan menjawab, "Di sini."

Febi mengikuti perawat ke ruang pemeriksaan, yang bertugas adalah seorang dokter wanita muda. Melihat Febi berjalan masuk, dokter mengangkat dagunya dengan wajah tidak berekspresi, lalu memberi perintah tegas, "Berbaring dan buka celanamu."

Lepas ... lepas celana?

Febi sedikit terkejut, dia berdiri di sana sambil menatap dokter itu dengan bingung.

"Kenapa kamu masih berdiri di sana? Cepat, ada orang yang menunggu di belakangmu!" desak dokter setelah melihat Febi masih tidak bergerak.

Dia mengambil napas dalam-dalam dan berjalan ke tempat tidur. Dokter mengernyitkan alis dan memerintah, "Lepaskan satu bagian celanamu."

Dokter itu bertanya sambil membolak-balik buku rekam medisnya, "Sudah menikah?"

Febi merasa sedikit sulit untuk beradaptasi dengan situasi ini, ketika dia melepas celananya, tangannya bergemetar, ujung jarinya meregang dan sedikit pucat. Mendengar pertanyaan dokter, dia menjawab dengan malu, "... iya."

"Oke, berbaringlah."

Satu perintah, satu tindakan. Febi berbaring dengan kaku sambil menatap langit-langit yang berawarna putih. Febi menjadi lebih panik, dia merasa saat ini dia adalah seekor ikan yang akan disembelih. Dia bahkan ingin segera melarikan diri.

"Buka kakimu, kita semua adalah wanita, jangan gugup."

Dia menggigit bibir bawahnya, dia perlahan membuka kakinya dengan malu-malu. Memikirkan rasa malu dan penghinaannya saat ini, tiba-tiba hidungnya terasa perih.

Dia tidak tahu kesalahan apa yang telah dia lakukan dalam pernikahan ini? Kenapa dua tahun ini dia terus-menerus dipermalukan oleh ibu mertua dan saudara iparnya? Kenapa saat suaminya tidur dengan wanita lain, dia harus menanggung penghinaan ini sendirian?

Direktur, Ayo CeraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang