##Bab 144 Panah yang Tidak Dapat Ditarik Kembali

686 17 4
                                    

Pintu didorong terbuka. Lalu, terlihat sesosok bayangan yang tinggi.

Tanpa melihat ke atas, Febi tahu siapa yang datang.

"Sudah larut, aku pikir kamu tidak akan datang." Febi mengangkat selimut dan turun dari ranjang.

Julian berjalan mendekat, menatap mata Febi yang cerah karena kemunculannya dan berkata sambil tersenyum, "Rindu padaku?"

Febi merasa sedikit malu.

Apakah suasana hati Febi terlihat begitu jelas?

"Tidak, tidak sama sekali!" Febi tersenyum dan menggelengkan kepalanya sambil mengucapkan kata-kata yang tidak tulus. Seolah ingin membuat kata-katanya terdengar lebih meyakinkan, Febi berbalik dan merangkak ke atas ranjang.

Julian mengikuti dan duduk di tepi ranjang. Julian melirik Febi sejenak, lalu meraih dan mengepal erat tangan Febi, "Tapi, aku memikirkanmu."

Kata-kata yang sederhana itu membuat Febi tertegun sejenak. Setelah itu, Febi melirik Julian sambil tersenyum.

Julian langsung berbaring di ranjang rumah sakit dan menghela napas. Melihat Febi terus menatapnya, Julian menepuk posisi di sampingnya, "Berbaringlah."

"Apakah malam ini kamu akan tidur di sini?" Febi berbaring dengan patuh, kepalanya bersandar di lengan Julian. Mencium aroma napas Julian, Febi merasakan ketenangan yang tak terlukiskan.

Helaian rambut berserakan di sarung bantal putih rumah sakit, sesekali menyentuh ujung hidung Julian hingga dia merasa gatal.

Julian menutup matanya, berbalik ke samping dan langsung memeluk Febi dengan erat. Bibir Julian yang dingin dan tipis menempel di leher Febi. Setelah beberapa saat, Julian berkata dengan lembut, "Aku tidak ingin pergi."

Suara Julian sangat lembut dan tenang, juga terdengar sedikit lelah.

Febi merasa kasihan. Dia juga tidak tahan melihat Julian pulang selarut ini. "Kalau begitu, aku akan tidur di ranjang sebelah, kamu tidur di sini. Aku akan meminta perawat membawakan selimut."

Tempat tidur rumah sakit tidak besar, sementara tubuh Julian sangat tinggi. Julian berbaring sendirian saja sudah terasa sempit. Belum lagi mereka berdua meringkuk bersama. Febi takut ketika bangun besok, sekujur tubuh Julian akan terasa sakit.

Febi ingin bangun. Akan tetapi, Julian malah meraih tangannya dan memasukkannya ke dalam selimut, lalu menarik selimut untuk menyelimuti Febi, "Jangan bergerak, tidur saja seperti ini."

Febi juga dengan patuh tidak bergerak.

Jarak mereka sangat dekat, hingga hidung keduanya saling menyentuh dan napas mereka pun terjerat. Hal yang terlihat adalah untuk wajah satu sama lain yang kabur.

Julian menatap Febi dan menghela napas dengan santai, "Aku sudah lama tidak tidur denganmu seperti ini. Akhir-akhir ini, aku tidak tidur nyenyak."

Manusia adalah makhluk yang sangat aneh. Sebelum Febi muncul, Julian bisa melakukan apa pun sendirian. Namun, sejak Febi muncul, semuanya telah berubah.

Di masa lalu, Julian menyukai ranjang besar, karena dapat meregangkan anggota tubuhnya dengan nyaman. Namun sekarang, entah kenapa Julian malah merasa ranjangnya terlalu besar dan kosong, membuatnya sulit untuk tidur. Kenyamanan ranjang besar secara alami kalah dari ranjang kecil yang dapat memeluk Febi.

"Kalau begitu apakah kamu ingin melepas pakaianmu dulu? Akan sangat tidak nyaman kalau tidur seperti ini."

Febi memikirkan yang terbaik untuk Julian.

Mata Julian menjadi sedikit gelap, "Apakah kamu mencoba merayuku?"

"Apa yang kamu katakan? Kamu suka berpikir liar," keluh Febi dengan wajah memerah. Di mata Julian, penampilan Febi yang seperti itu terlihat sangat menggoda, hingga perut bagian bawah Julian menegang, napasnya terengah-engah dan matanya menjadi panas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Direktur, Ayo CeraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang