42. So What?

1.3K 260 111
                                    

"Lalu apa?"

" . . . "

"Kau berniat mengambilnya dariku?"

" . . . "

"Cobalah kalau kau berani."

Ren tidak mungkin menyerahkan putrinya begitu saja. Gigi adalah apa yang Vernon percayakan padanya dan Kaia. Untuk menyerahkannya begitu saja pada seseorang yang tidak mempedulikan ibunya, Ren dan Kaia bukanlah monster semacam itu!

"Bagaimana aku berani." Joseph tertunduk dalam. Ia tidak bertanya, dirinya memberikan sebuah pernyataan. Ia malu. Vernon tidak seperti Vernio yang selalu blak-blakan. Vernon harus dibaca karena dia tidak mampu mengutarakan apa yang dia inginkan. Joseph tidak memiliki kemampuan akan hal itu. Inilah alasan kenapa ia tidak berani.

Terlebih lagi, dalam sekali pandang, Ren bukanlah sosok yang bisa diganggu dengan mudah. Dia sangat mengintimidasi dengan tubuh besarnya dan aura kuatnya. Lantas, apa yang harus Joseph lakukan untuk mengalahkannya? Dalam hal kepintaran, sosok Kaia yang ada di samping Ren jelas bukanlah seseorang yang bisa diragukan lagi kepintarannya. Terbukti dari beberapa babak kompetisi yang terus dirajai oleh Kaia. Sungguh Joseph tidak ada apa-apanya dibandingkan keduanya.

"Aku mohon." Namun satu hal yang pasti, Joseph tidak ingin menyerah. Dalam hidupnya kali ini, ia hanya ingin memperbaikinya sedikit. Berdoa di tempat peristirahatan terakhir Vernon dan memeluk putrinya sekali saja. Mimpi Joseph tidak aneh dan hanya sebatas itu. Ia tidak berani bermimpi untuk merawat anaknya sendiri sementara ketiga anaknya dengan Vernio saja Vernonlah yang merawatnya.

Wanita sebaik Vernon seharusnya tidak disandingkan dengan pria seburuk dirinya, pikir Joseph.

"Ayah."

Hati Joseph berdegup cepat. Ayah? Apakah Gigi memanggilnya dengan sebutan itu? Tidak mungkin! Ayah yang gadis kecil itu maksud sudah pasti dia. Mata Joseph teralih ke Ren.

"Yes, Sweetie?" jawab Ren.

"Aku ingin berbicara dengannya."

Permintaan Gigi mendapatkan ekspresi keberatan dari Ren. Hanya saja Kaia paham akan apa yang diinginkan oleh anak gadisnya. "Tidak apa-apa. Jika Gigi ingin berbicara, maka berbicaralah." Kaia lalu menggendong Didi dan menggenggam tangan sang suami untuk masuk ke kamar. Meninggalkan Gigi dan Joseph di ruang tamu.

"Tunggu sebentar." Ren memastikan untuk memasang segel di kamar mewah mereka jikalau Joseph mungkin saja menculik anak gadisnya. "I'll be watching you in my room."

Dengan begitu, hanya tertinggal Gigi dan Joseph.

Wajah Joseph yang telah sangat kuyu lalu tersenyum lembut. "Apa kau bersenang-senang?" tanyanya pada anak gadis 2 tahun yang duduk di atas sofa, sementara ia duduk di lantai. Joseph belum mendekat ke arah Gigi.

Dengan yakin, Gigi mengangguk. "Hm. Aku punya Kakak, Ayah, dan Ibu."

Joseph sedikit terluka, namun ia tidak akan menuntut lebih. "Aku selalu ingin meminta maaf pada ibu kandungmu. Bisakah kau meyakinkan Ayah dan Ibumu agar aku bisa menemuinya?"

"Sebagai siapa kau ingin menemuinya?" tanya Gigi. Ia mendengar dan merasakan semua yang ibunya rasakan ketika dirinya masih berada di dalam kandungan. Meski ia kasihan pada ayah kandungnya, namun penderitaan ibunya tidak akan semudah itu untuk dilupakan.

Joseph tidak menyangka jika sang putri akan menanyakan hal ini dengannya. Dengan hati yang teguh meski rasa malu menyelimuti, Joseph berujar, "sebagai Joseph, suaminya."

Gigi yang mengenakan sebuah dress lucu dan sedang duduk di tengah-tengah sofa panjang membuat Joseph membayangkan, alangkah indahnya hidup anaknya jika bisa dirawat oleh Ren dan Kaia. Kedua orang ini mungkin adalah jalan terbaik untuk kehidupan putri semata wayangnya bersama Vernon.

KinglessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang