49. The Maha Family Massacred

1.7K 259 55
                                    

"Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudra, sama Ayah Ibu bertualang!"

"Tempat yang baru belum pernah terjamah. Suasana yang ramai di tengah kota. Slalu waspadalah kalau berjalan. Siap membantai orang di mana saja."

"Gigi, menolong orang dan bukan membantai orang," tegur Kaia.

"Tapi Ayah mengatakan seperti itu, Ibu." Gigi yang tidak ingin disalahkan segera melimpahkan semua kesalahannya pada Ren.

Tidak ingin kedua orangtuanya mengganggu kegiatan sambung lirik yang dimulai oleh Didi dan Gigi, Kiki dengan bijak menyambung liriknya. "Ruthven Ruthven itulah asalnya. Tak bela kebenaran dan keadilan. Hei kami Ruthven!"

"Keluarga hebat yang mulai beraksi. Ayah jaga anak bermain di taman. Ibu bunga indah terbang ke Bumi. Membawa hati kita jadi gembira."

"Ruthven Ruthven itulah asalnya. Tak bela kebenaran dan keadilan. Hei kami Ruthven!" Ren yang menutup lirik terakhir setelah Lili.

Kaia menghela napasnya ringan. Ren entah bagaimana mampu mengajarkan anak-anak lagu-lagu aneh. Saat ini mereka sedang ada di pusat desa untuk berjalan-jalan. Posisi berjalan pun membuat Kaia geleng-geleng kepala. Didi berdiri paling di depan dan berjalan dengan menghentakkan kakinya bahagia sembari bernyanyi. Di belakangnya ada Gigi, dia juga ikut bernyanyi meski tidak menghentakkan kaki seperti Didi. Di belakang Gigi, ada Lili yang juga berjalan sembari menghentakkan kaki. Sebenarnya posisi ini sempat ditolak oleh Kiki karena ia adalah saudara ketiga. Namun ia berubah pikiran beberapa detik kemudian karena posisi Lili menjadi terjepit.

Di belakang Kiki berdirilah Kaia, sedang yang terakhir adalah Ren. Orangtua dan anak-anak berjalan membentuk garis lurus. "Aku ingin donat! Donat! Donat!" teriak Didi sembari berlari ke kedai donat sembari mengangkat hanfu yang dikenakannya.

Biasanya, orangtua akan menolak setiap hal yang ingin dibeli oleh anak-anak jika tidak masuk ke dalam daftar belanjaan mereka. Sayangnya, Ren dan Kaia yang tidak tega pasti langsung membeli apapun yang diinginkan oleh anak-anak. Toh, mereka juga tidak kekurangan uang. Jangankan Ren atau Kaia, ketujuh bersaudara pasti akan melakukan hal yang sama.

"Donatnya 4." Kaia datang dan langsung merogoh dompet koinnya di lengan baju. "Berapa?"

"8 koin tembaga," jawab pedagang itu.

"Tapi Didi ingin 5, Ibu." Didi menatap Kaia dengan pandangan memelas.

Kaia tersenyum. "Yang lain juga ingin 5?"

Dengan cepat Gigi, Kiki, dan Lili menggelengkan kepalanya. Kapasitas perut mereka tidak selebar perut Didi.

"Kalau begitu, donatnya 8. 16 koin tembaga kan?"

Penjual donat segera mengangguk cepat. Orang-orang yang membeli banyak biasanya akan meminta diskon, namun Kaia tidak seperti itu. Hal kecil ini membuat penjual donat senang. Terlebih lagi, Kaia membayar dengan uang pas! Tidak lebih dan tidak kurang. Penjual donat awalnya khawatir jika Kaia mungkin akan menawar untuk membayar 15 koin tembaga saja. Sebelum ia bisa mengiyakan, betapa senangnya dirinya jika Kaia ternyata membayar sesuai dengan jumlah.

Ketika donat mulai diberi toping gula halus, seseorang lagi datang dan berdiri tepat di belakang Didi. Ren dan Kaia menunggu di samping. Mereka sama sekali tidak curiga pada orang itu, namun refleks Didi membuyarkan segalanya.

Dengan suara nyaring khas anak kecil, Didi berteriak, "Ah! Nyamuk!" Tangan kecil Didi lalu menampar dengan sekuat tenaga betis seseorang yang ada di belakangnya ketika ia baru saja berbalik setelah diberikan dosis donat pertamanya untuk hari ini.

Seseorang yang menjadi korban tamparan tangan Didi di betis lalu terlempar jauh, menghantam beberapa tembok dan melubanginya. Tidak hanya itu, berbagai recehan tembaga dan perak, tas-tas wanita, hingga arloji berhamburan di sekitar orang itu.

KinglessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang