Seperti keajaiban, Kaia menatap istana Ren yang telah selesai hanya dalam sehari semalam.
"Kau . . . bercanda," ujar Kaia takjub.
Kaia tidak habis pikir. Bagaimana cara Ren dan bawahannya bisa menyelesaikan istana sebesar ini hanya dalam waktu 24 jam! Setelah menjual kalung ibunya—yang ternyata setiap mutiara dihargai setinggi langit, Kaia memberikan hasilnya semua pada Ren. Karena mendapat lebih dari yang ia harapkan, Ren kemudian sedikit melebarkan istananya dibanding istana sebelumnya.
Istana Ruthven terdiri dari 10 lantai ditambah 1 basement. Lantai kesepuluh adalah Heaven Garden atau Taman Surga. Kaia akan meletakkan semua tanamannya di taman ini. Ia juga bisa membuat laboratoriumnya sendiri. "Setiap pukul 10 malam, aku akan memainkan harpa. Ini tandanya semua orang harus segera bergegas untuk tidur."
Ren yang mendengar permintaan Kaia menatapnya kaget. "Kenapa?" tanyanya dengan diliputi sejuta kebingungan.
"Tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan. Berhubung kita semua belum terlalu tua, ada baiknya menjaga kesehatan dimulai dari sekarang." Kaia menjelaskan dengan tenang. Ia kemudian mengambil cangkirnya dan menyesap tehnya pelan.
"Tapi . . . haruskah? Karena kita masih muda, kita harus . . . harus . . . " Ren merasa gelisah ditatap Kaia dengan sangat tenang. Ia merasa jika Kaia sedang mengancamnya dengan matanya yang tidak mengeluarkan emosi apapun kecuali menunggu dengan sabar. Ia menghela napas pasrah. "Istirahat jam 10 malam, jika ada yang melanggar maka akan berurusan dengan Hakim Agung."
Aneh sebenarnya mendengar julukan Hakim Agung di lingkungan monster seperti ini, namun hakim itulah yang ingin dipanggil seperti itu. Dia berasal dari ras lich. Ren sengaja membangkitkannya dari kematian dan membuatnya mendabdi untuk dirinya sendiri. Sebelum istana selesai digarap, Hakim Agung ini tinggal di dalam sihir Ren. Hanya setelah Ren selesai membangun istananya, ia segera bergegas keluar bersama dengan para Jaksa Penuntut Umum untuk mengatur ruang sidang di basement.
Ren tahu jika para hakim dan anteknya ini aneh, namun mereka sangat bijak dalam mengurus masalah di istananya. Ren tidak perlu khawatir dengan mereka. Biarkan mereka mengatur ruangan mereka sendiri.
"Kak Ren," panggil Al.
Ren yang mendengar panggilan Al padanya mengangkat sebelah alisnya. Tidak biasanya adiknya memanggil namanya meski tetap diberi embel-embel. Kaia yang menyadari ekspresi Ren segera menjelaskan, "terkadang panggilan 'Kakak" memang baik, namun aku menyarankan untuk memanggil namamu juga agar terdengar lebih akrab."
"Seperti itu?" Ren merasa tidak masalah lalu segera melanjutkan.
"Ya."
Setelah mengerti, Ren kemudian menatap Al agar dia melanjutkan apa yang ingin dikatakannya sebelumnya. Bukannya mendapatkan balasan apa-apa, Al hanya memberinya sebuah kode. Tidak hanya Al, semua adik-adiknya juga memberikan kode yang sama. Mereka membelalakkan mata seolah ingin mengatakan sesuatu pada Ren namun tidak bisa menyebutkannya. Ren lalu mengerutkan dahinya bingung.
Serempak, ketujuh adiknya segera menepuk dahi. Ayolah, mereka sedang berada di ruang takhta dimana sebuah meja besar dijadikan penengah mereka agar mereka bisa berdiskusi. Kursi besar miliknya kini tidak hanya sendiri di kepala meja, namun ada kursi Kaia yang sedikit lebih kecil dari miliknya di sampingnya sehingga bagian kepala meja terdiri dari dua orang, ia dan Kaia.
"Kalian kenapa?" tanya Kaia bingung. Ia menatap adik-adik Ren—yang sebentar lagi akan menjadi adiknya juga— dengan tatapan tidak mengerti.
Al yang duduk di samping Ren segera mengusap jari manisnya sendiri pelan. Tak lupa, ia juga berdehem ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingless
AdventureBerparas menawan, tinggi semampai, hingga berbudi luhur. Apalagi yang bisa diharapkan oleh Ren dari sosok Kaia? Bahkan Kaia masih terus mengejarnya dan melindunginya sampai saat terakhirnya. Karma mungkin sedang tertawa padanya, menamparnya dengan f...