"Zizi!" panggil Didi dengan satu gigi atasnya baru saja dicabut. Ia tersenyum sangat lebar ketika melihat Zizi tidak jauh berbeda dengan dirinya. Mereka berdua sama-sama berambut perak dan bermata ungu. Bedanya, kulitnya sedikit kecoklatan sedang kulit Zizi, putih seperti sang ibu.
"Gigimu tidak sakit?" tanya Gigi yang juga menemani adik kecilnya yang baru lahir. Setelah Didi, ada Gigi yang perlu dicabut giginya juga.
"Tidak, aku baik-baik saja." Didi menjawab dengan jujur. Giginya sebenarnya masih dalam kondisi baik, hanya saja gigi yang baru perlu tumbuh sehingga gigi yang lama harus dicabut.
Dibanding Didi, gigi Kiki lebih duluan sudah dicabut. Giginya cukup parah karena tidak mendapatkan perawatan yang baik. Sedangkan di belakang Kiki, ada gigi milik Lili. Kaia berusaha mencari cara agar gigi anak-anaknya tetap baik dan tidak rusak. Ia mencabut semua gigi rusak secara berkala untuk kemudian ditumbuhkan lagi gigi baru yang lebih kuat. Sampai sekarang, tidak satu pun gigi dari anak-anaknya ada yang rusak. Semuanya dalam kondisi yang baik.
Begitu Ren dan Kaia masuk ke kamar mereka, betapa terkejutnya mereka ketika Didi and the gang—sudah termasuk Zizi— tidak ada di kamar.
"Didi?" panggil Kaia pelan.
"Gigi?" Ren ikut membantu dan berjalan ke sekitar.
"Kiki?" Kaia melanjutkan sembari membuka pintu kamar mandi.
"Lili?" Ren melihat ke kolong tempat tidur.
"Riri?" Kaia mulai panik karena tidak mendapatkan siapapun di kamar itu.
"Vivi?" Suara Ren mulai mengeras.
Ren dan Kaia lalu bertukar pandang. "Zizi!" teriak mereka bersama karena si kecil baru saja dilahirkan tapi seseorang telah menculiknya. Malam ini adalah malam bulan purnama, apakah mungkin jika mereka diculik oleh makhluk yang semakin kuat jika bulan purnama bersinar secara terang benderang di luar?! Tidak mungkin bagi keamanan Istana Ruthven untuk ditembus dengan begitu mudahnya!
"Cepat hubungi semuanya dan lakukan pencarian besar-besaran." Kaia panik, anak-anaknya . . . ke mana anak-anaknya?
Ren yang lebih tenang segera menenangkan istrinya dan baru saja ingin menghubungi Al dan yang lainnya. Sampai akhirnya, sebuah portal kecil—kira-kira setinggi limapuluh sentimeter dengan lebar yang sama—terbuka tidak jauh dari tempat tidur berukuran besar miliknya. Tawa anak-anak kemudian terdengar dari arah dalam portal itu, ada yang terkikik, cengengesan, bahkan terbahak sekali pun.
Kaia lalu tertunduk dalam, "bayi-bayi nakal," geramnya sangat lemah. Debaran jantungnya masih belum bisa terlalu tenang karena hasil dari membayangkan ketika anak-anaknya hilang diambil oleh orang lain.
"Child's Mother," ujar Ren menenangkan. Ia mengelus pundak Kaia yang masih cukup tegang. Tangan Ren lalu menuntun Kaia untuk duduk di atas ranjang, kini ia siap untuk menegur anak-anak nakalnya. Namun mata Ren segera terbelalak ketika anak-anak kembali dengan masing-masing menenteng sekantong kresek kecil makanan ringan di satu tangan mereka. "Kalian!" Ren segera menyambar kantong kresek milik Didi yang berjalan paling depan—alias yang paling pertama keluar dari portal.
"Ayah!" Didi cemberut, pipinya menggembung. Ia tidak puas dengan sikap ayahnya yang ingin mengambil makanannya. Kedua tangan kecilnya terlipat di atas dada.
"Di mana kalian mendapatkan ini?" tanya Ren memeriksa setiap makanan ringan yang ada di dalam kantong kresek kecil itu. Tidak salah lagi! Ada Klays, Tringles, Mondey Butter Cookies, Fritz, dan beberapa brand permen ternama. Semua makanan ringan ini berasal dari dunianya yang sebelumnya!
"Seorang Paman tampan membelikannya untuk kami," jawab Gigi sembari menyembunyikan makanan ringannya ke belakang tubuhnya. Ia takut jika Ren akan mengambil makanan ringan itu juga darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingless
AdventureBerparas menawan, tinggi semampai, hingga berbudi luhur. Apalagi yang bisa diharapkan oleh Ren dari sosok Kaia? Bahkan Kaia masih terus mengejarnya dan melindunginya sampai saat terakhirnya. Karma mungkin sedang tertawa padanya, menamparnya dengan f...