Ren dan Kaia memutuskan masuk ke gerbang Dragon Village setelah membersihkan diri di sungai terdekat. Mereka mendapati jika kampung ini dihuni oleh banyak orang. Bahkan jika dengan jumlah warga yang cukup padat seperti ini seharusnya bisa membuat mereka berimigrasi atau keluar desa untuk merasakan rasanya kehidupan di luar desa dan bukannya harus berhimpitan di puncak gunung seperti ini.
Untuk sesaat, Ren dan Kaia bertukar pandang sebentar untuk kemudian mengenyahkan pemikiran aneh mereka. Ada kemungkinan besar jika desa ini menolak peradaban dan memutuskan untuk tetap tinggal dan menjaga desa.
Hanya ketika mereka berjalan sedikit lebih masuk, beberapa warga kemudian menatap mereka aneh. Bahkan ada beberapa yang secara terang-terangan melompat untuk menjauhi mereka seolah mereka berdua adalah hama.
"Ada apa?" tanya Kaia yang merasakan keanehan itu terlebih dahulu. "Kenapa kalian menatap kami seperti itu?"
Ren yang kadar kepekaannya berada di ambang normal terbawah akhirnya juga sadar jika mereka sebenarnya dihindari. "Kalian . . . sangat tidak sopan," ejeknya.
"Cepat! Cepat panggil Tetua ke sini atau kita akan mati!" Sebuah teriakan kemudian terdengar dari arah kiri Kaia.
"Sialan! Kau pikir kami hama?!" Ren segera merasa tersinggung. "Meine liebe¹, ayo pergi dari sini. Mereka belum pernah melihat kecantikan secantik dirimu jadi mereka sangat tersentuh. Dasar orang udik!"
¹Austrian Germany = My Love
"Udik? Wanita itu memang cantik, tapi kami terkejut bukan karena kecantikannya tapi karena hal lain. Dasar orang dungu!" sahut seseorang yang Ren tidak tahu dari mana.
"Wanita? Apa kau buta? Dia pria! Dasar orang bodoh!" sengit Ren.
"Buta? Mataku mungkin jauh lebih baik darimu. Dasar orang tolol!"
Ren terkejut. "Dasar orang sinting! Aku lebih kuat darimu!"
Sebelum suara itu kembali membalas, suara Kaia dan suara orang lain segera menyela. "Diamlah."
Ren hanya bisa membuang muka dengan tidak ikhlas. "Meine Liebe, ayo pergi dari sini. Aku tidak ingin datang ke desa dengan orang-orang kasar seperti ini."
Sebelum mengikuti Ren untuk berbalik dan pergi, Kaia sedikit membungkuk dan meminta maaf, "maafkan suamiku, kami akan meninggalkan desa jika memang kami tidak bisa diterima di sini. Sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu."
Tak ingin menunggu lebih lama, Ren berbalik dan menggenggam tangan Kaia untuk segera pergi dari tempat itu. Ia merasa marah di hatinya karena sebuah kampung terbelakang seperti Kampung Naga bahkan bisa menghinanya sedemikan rupa.
"Jangan marah," ujar Kaia sembari mengelus lengan Ren.
Melalui sudut matanya, Ren bisa melihat jika Kaia memberikan sebuah senyuman kecil padanya. Hatinya menjadi sedikit lebih ringan. Iya, hanya sedikit. Orang-orang desa sudah membuat perasaannya jungkir balik.
"Kenapa kau jadi begitu cepat tersulut seperti ini? Sudahlah, jangan diambil hati perkataan mereka. Mari kita mencari desa lain untuk melanjutkan perjalanan. Ini masih awal, jangan selalu merasa cepat terpancing seperti tadi. Itu tidak baik."
"Maafkan aku, Meine liebe. Aku hanya tidak terima ketika mereka menghinamu."
"Menghinaku? Mereka sama sekali tidak menghinaku."
"Tapi—" Benar juga, Ren akhirnya tersadar. Bukan Kaia yang dihina sedemikian rupa, tapi dirinya. "Ish, dasar orang udik sialan itu."
"Berhenti menghina orang lain. Kita tidak tahu kondisi asli mereka, jangan menuduh mereka dengan perkataan kasarmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingless
AdventureBerparas menawan, tinggi semampai, hingga berbudi luhur. Apalagi yang bisa diharapkan oleh Ren dari sosok Kaia? Bahkan Kaia masih terus mengejarnya dan melindunginya sampai saat terakhirnya. Karma mungkin sedang tertawa padanya, menamparnya dengan f...