60. Vadivel

1K 217 46
                                    

Setelah berkelahi dengan laba-laba, kelima anak-anak lalu melanjutkan penelusuran mereka. Setibanya di bagian paling ujung gua, mereka hanya menemukan sedikit batu kristal yang berwarna warni. Tidak ingin rugi, mereka tetap mencungkil batu-batu itu untuk kemudian diletakkan ke dalam pouch ajaib milik Didi yang telah kosong karena isinya telah dimakan selama perjalanan.

"Jadi? Apa kita kembali?" tanya Gigi cemberut. Ia merasa jika perjalanan yang ditempuhnya bersama saudaranya tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan.

"Sebelum masuk ke sini, masih tersisa satu persimpangan lagi. Mungkin di sana ada banyak batu berkilau yang aku lihat dulu." Didi lalu bersuara.

"Jadi kita akan ke sana?" tanya Kiki penasaran.

"Sudah terlanjur, jadi lebih baik sekalian ditelusuri." Lili mengeluarkan satu bonekanya. Entah bagaimana, ia merasa jika namanya terus disebutkan di tempat lain berulang kali. Berhubung para saudaranya tidak merasakan hal itu, ia lantas mengabaikannya.

"Lebih cepat lebih baik atau Ayah dan Ibu akan khawatir jika kita menghilang terlalu lama." Di sisi lain, Riri juga sudah mulai gelisah. Ia merasa jika hukuman sedang menunggunya di rumah. Namun di sisi lain ia juga merasa jika dirinya bersama dengan saudaranya belum pergi terlalu lama.

Perjalanan kelima anak-anak kemudian dilanjutkan. Setibanya mereka kembali di persimpangan tiga, mereka lalu memilih persimpangan terakhir. Bukannya mendapatkan jalan buntu, bukan juga laba-laba raksasa, yang mereka temui memang benar adalah gua yang penuh dengan batu berkilau! Dengan gesit, kelima anak-anak itu lalu mengambil batu-batu itu dengan semangat. Mereka memasukkan semua batu itu ke dalam pouch kecil mereka.

"Jika tidak kuat, letakkan saja ke dalam pouch Didi. Pouch miliknya sudah kosong karena dia memakan semua makanan yang dibawanya tadi," celetuk Gigi.

Saran Gigi lalu diangguki oleh semuanya. Dengan cermat mereka mengambil batu-batu berkilau yang terlihat tanpa tahu batu mana kira-kira yang berharga dan tidak terlalu berharga, intinya masukkan saja semuanya.

Riri adalah yang paling kuat dari semua saudaranya, perasaan untuk melindungi menjadi lebih besar. Ia lalu mengambil inisiatif untuk masuk lebih jauh dibanding yang lainnya. Semakin Riri masuk, semakin berkilau batu yang ia lihat. Dengan cepat ia mencungkil batu-batu itu dari dinding dengan menggunakan tangan kosongnya. Ia sangat senang jika membayangkan dirinya mendapat pujian karena mengumpulkan banyak batu berharga.

"Jika aku jadi kau, aku tidak akan mengambil batu itu."

"Kenapa?" tanya Riri yang masih fokus mengambil batu. Dalam hati sambil berhitung, 'satu, dua, tiga, empat, lima, lima, lima, lima, lim—'

"Karena batu itu tidak terlalu berharga dibanding yang baru saja kau lewatkan itu."

"Yang mana?" tanya Riri.

"Itu, yang berwarna hitam."

"Benarkah?" Riri merasa skeptis di hatinya. Pasalnya batu yang ia ambil adalah yang paling berkilau sedangkan yang ia lewati terlihat tidak terlalu berharga.

"Ya, jika belum diasah memang seperti itu warnanya. Akan tetapi, jika sudah diasah, batu itu akan memiliki pola tersendiri."

"Begitukah?"

"Hu'um."

"Kalau begitu aku akan mengambil banyak batu ini."

"Ya, ya, ambil sebanyak yang kau mau."

"Batu mana lagi yang bisa aku ambil?"

"Berlian di ujung kanan juga tidak kalah bagus."

"Ok, ok." Riri lalu melangkah girang ke arah yang telah ditunjukkan. Ia kemudian memulai kembali hitungannya, "satu, dua, tiga, empat, lima, lima, lima, li—"

KinglessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang