Bab 98 : Hari Pemakaman

9.6K 1.3K 72
                                    

Pikirannya kacau untuk sesaat. Dia ingin mengurung Haechan agar pria itu tak berpikiran untuk mati. Agar Haechan bisa hidup lama bersamanya. Terserah apapun itu, dia hanya ingin pria dihadapannya itu berumur panjang!

Jika memungkinkan, Minhyung mungkin ingin meminta keabadian pada iblis untuk memberi Haechan kehidupan yang panjang.

Haechan menahan isak. Pandangannya kembali mengarah keluar jendela kereta. Dilihatnya bulan yang bersinar cerah malam ini dan udara yang semakin sejuk.

Musim dingin akan segera datang. Tapi Jenderal Kecil Lee Jeno sudah tak ada lagi.

Setelah keheningan yang lama, Haechan akhirnya memutuskan untuk keluar dari kereta. Dia tak bernapsu makan dan Minhyung memakluminya.

Haechan terbaring diatas tempat tidur milik penginapan. Minhyung menyelimutinya, mengecup mata yang membengkak itu untuk segera tidur.

"Tidurlah." Ujarnya mengusap lembut pipi Haechan.

Haechan memejamkan mata, mengabaikan perutnya yang bergejolak minta diisi. Hidungnya tersumbat dan air mata kembali mengalir diekor matanya.

Minhyung menyeka air mata itu. Duduk disamping Haechan yang sudah tidur. Matanya melembut, menatap kearah wajah Haechan yang menyedihkan. "Jangan lupa untuk bangun." Dia membatin, 'Aku mencintaimu, Donghyuck. Kumohon teruslah hidup.'

Waktu berlalu. Pagi-pagi buta Haechan dibangunkan oleh perutnya yang berbunyi karena tak diisi sejak semalam.

"Lapar?" Minhyung duduk disampingnya. Terlihat kantung matanya telah menghitam seolah-olah dia tak tidur sepanjang malam hanya demi menjaga Haechan.

Diusapnya lembut pucuk kepala Haechan. Mengecup keningnya sekilas dan kembali membuka suara lembut, "Ingin makan, hm?"

Haechan menggeleng lemah. Dia benar-benar tak bernapsu untuk makan, sekarang.

Minhyung menghela napas pelan. "Baiklah." Katanya lembut mengecup kening Haechan lagi.

Persiapan untuk pulang ke kerajaan telah disiapkan. Dua orang pengawal dikirim terlebih dahulu untuk memberi kabar mengenai apa yang terjadi pada mereka saat berada di Desa Wewangian itu.

Rombongan Minhyung melanjutkan perjalanan kembali. Haechan duduk dikereta kuda bersama Jaemin. Perasaan canggung dan haru masih menyelimuti mereka berdua.

Roti ditangan Haechan bahkan hanya tergigit dua kali. Dia menatap keluar jendela kereta, angin sejuk lagi-lagi menerpa wajahnya yang sayu.

Entah sudah berapa lama mereka berada diperjalanan. Apakah jalanannya terjal, curam, basah, berlumpur, rombongan mereka masih terus melanjutkan perjalanan. Hanya ada keterdiaman, ketidakpercayaan dan wajah sedih penuh pilu.

Malam harinya, mereka akhirnya tiba. Kabar meninggalnya Jenderal kecil Lee Jeno telah tersebar diistana.

Tidak ada sambutan. Hanya isakan tangis tak percaya dari seluruh anggota kerajaan yang berduka.

Haechan keluar dari kereta kuda. Dilihatnya orang-orang yang berkumpul dengan kesedihan yang sama dengannya.

Atensinya jatuh pada seorang pria paruhbaya yang mengenakan pakaian berkabung dan raut wajah penuh duka.

"Paman..." Lirih Haechan berjalan menghampiri Paman Lee. Dia kembali terisak.

"Tuan Pangeran." Paman Lee berjalan menghampirinya juga. Mencoba menghibur saat dimana dirinya yang justru paling merasa kehilangan seorang anak.

Air mata kembali tumpah. Tubuh Haechan merosot dipelukan Paman Lee yang mencoba menyangganya. Dia terlalu lemah saat ini hingga tak bisa menjadi tumpuan untuk Haechan.

1521; HIRAETH || MARKHYUCK [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang