Surat Misterius

382 29 26
                                    

Langit yang mulanya cerah sedikit demi sedikit di tutupi kapas abu pekat. Semua orang sibuk tanpa menyadari awan mendung sudah menutupi hampir satu kota. Yah, walaupun hujan akan turun, setidaknya mereka telah membawa payung yang sudah mereka siapkan sejak awal.

Di tengah-tengah halte dirinya sedang menunggu bis umum yang akan mengantarnya pulang. Penampilannya sedikit mencolok dari yang lain. Dimana menggunakan sebuah hoodie abu dan menutupi hampir separuh wajahnya. Sepertinya masih sekolah menengah atas, di lihat dari celana dan sepatunya.

Dua orang di sebelahnya berbisik-bisik, apakah mereka sedang membicarakannya? Hey membicarakan orang itu tidak baik. Tapi, yasudahlah. Peduli apa dirinya harus meladeni orang yang membuang-buang waktu mengritik orang lain tanpa berkaca diri mereka siapa.

Ahhh, perutnya lapar sekali. Kenapa bis belum sampai juga? Apa ada kecelakaan yang menghambat mereka? Perutnya sudah berbunyi beberapa kali.

"Kamu sudah makan, Nak?" Ia melepaskan earphonenya, menoleh ke sebelah kanan mendapati seorang wanita tua sudah duduk di sebelahnya.

Ia tersenyum menanggapi, "sudah, Nek."

Bohong.

Wanita tua itu tertawa kecil, "Kamu tidak pandai berbohong, ya? Nenek dengar suara perutmu dari tadi."

Iyakah? Apakah sekeras itu?

Wanita tua itu mengorek tas anyamannya, mengeluarkan sebuah roti kecil dan menyodorkan ke arahnya, "Nenek punya roti lebih, kamu makan ya?"

"Nggak usah, Nek," tolaknya cepat.

"Ah, tidak usah malu." Wanita tua itu membuka roti dengan gemetaran, "buka mulutmu, biar aku suapi."

Ini sangat canggung! Aneh sekali perlakuan nenek di sebelahnya ini yang tiba-tiba membuka roti dan menyuapinya. Mau tak mau ia harus menerima walau ada perasaan risih.

"Biar saya saja, nek. Terima kasih." Ia mengambil roti dan memakannya pelan. Ahh, perutnya sedikit terisi sekarang.

"Kalau cucuku masih hidup, pasti besarnya sepertimu."

Ia berhenti mengunyah, ia melirik ke arah wanita tua di sebelahnya yang menatapnya nanar. "Kamu pasti berpikir aku aneh tiba-tiba memberimu roti, bahkan memaksamu untuk memakannya."

Benar lagi! Ia menjadi tidak enak telah berpikiran negatif tentang nenek ini.

"Aku hanya teringat cucuku saja. Lucu sekali aku tiba-tiba curhat seperti ini, hahaha," lirihnya.

Ia hanya membungkam, tak tau harus menanggapi bagaimana. Kalau salah tanggap nanti ia akan menyakiti hati nenek ini. Tangan kirinya hanya mengusap punggung nenek itu pelan. Kurus sekali, dan tulangnya terasa bungkuk.

"Terkadang kita harus melepaskan beban yang kita punya dengan bercerita. Sesuatu yang sesak tak semestinya di pendam sendirian. Saya tidak tau harus melakukan apa, tapi saya turut berduka cita atas meninggalnya cucu nenek," ucapnya pelan.

Nenek itu terlihat menangis terisak, "Aku pernah memperlakukan beberapa anak sepertimu, tetapi mereka malah mengucilkanku dan mengatakan kalau aku ini aneh dan gila. Untung saja kamu menerimaku, kebaikan pasti akan menyertai hidupmu."

Ia tersentuh mendengarnya. Semoga saja yang di ucapkannya benar, setidaknya ia ada harapan sedikit.

Bus sudah sampai, dan di susul hujan yang sangat deras. Cepat-cepat ia naik setelah berpamitan dengan wanita tua itu agar bisa mendapat antrian pertama untuk duduk di samping jendela.

Sial! Ia terlambat untuk kesekian kalinya. Kini semua tempat penuh, ia celingak-celinguk bingung mencari kursi kosong yang bisa menampungnya. Ah, apakah ia harus berdiri lagi hari ini? Semua orang dengan jas memenuhi kursi hari ini, dan seperti biasanya orang-orang yang di bawah mereka akan berdiri sambil merenungi kekesalan mereka. Kenapa orang-orang kaya selalu saja mengambil martabat kaum rendahan yang masih butuh tumpangan umum untuk pulang pergi? Padahal mereka punya uang untuk membeli kendaraan atau supir pribadi.

Matanya siaga memperhatikan sekeliling, siapa tau uangnya kecolongan lagi seperti tempo hari. Ia tak sengaja menaruh dompetnya di dalam saku celana belakangnya. Semua uangnya hilang sampai-sampai ia di lempar keluar dari bis padahal tujuannya belum sampai. Untungnya ia punya tabungan untuk membeli dompet baru. Yah begitulah hidup di kota, ada kalanya orang tak punya rela mencuri untuk makan esok hari.

"Permisi, boleh anda memberi saya duduk? Kaki saya tidak kuat lagi untuk berdiri." Ia hanya melirik melalui ekor mata, ada seorang laki-laki dengan tongkat berdiri gemetar, ia memohon kepada pria berjas yang tengah memakai tempat duduk.

Ia berpura-pura tidak mendengar. Matanya sibuk menelaah ponsel yang entah isinya apa. Ah, tidak usah di pikirkan. Toh ia tak dapat apa kalau membantunya nanti.

"Saya mohon pak, saya sudah tidak kuat," pintanya lirih.

Entah pria berjas itu marah atau hanya menggertak, tapi dari nadanya terdengar emosi yang mengalir, "matamu buta?! Jelas jelas saya sedang duduk di sini, berarti ini punya saya! Kenapa kamu tidak duduk di lantai bus saja ketimbang menyusahkan orang lain yang sudah membayar untuk duduk di sini?!"

Orang-orang tidak ada yang berani melawan, laki-laki itu akhirnya memilih duduk di lantai bus. Bahkan pria berjas itu menaikkan kakinya agar menyentuh kepala laki-laki itu.

Haha, kalau sudah ber-uang apapun akan bisa di kuasai. Baru berjas saja sudah berlagak paling kaya yang menyewa satu bus. Ah, mungkin saja pria itu membayar lebih untuk kursinya?

Lalu apakah kalian berpikir dirinya akan berlagak seperti superhero dan memberi ceramah kepada pria berjas itu? Jawabannya, tidak. Kalau kalian ingin hidup kalian tidak sulit, camkan ini. Jangan pernah sibuk mengurusi hidup orang lain. Lebih baik fokus untuk kenyamanan diri sendiri. Andai kata ia ikut andil dan berkelahi dengan pria berjas tadi, bisa-bisa ia di blacklist dari semua angkutan umum di kota ini. Belum, tapi akan.

Akhirnya pemberhentian dekat rumahnya telah sampai. Ia segera turun dari bus dan berjalan di pinggir mengikuti trotar. Rumahnya ada di seberang, 800 m dari halte. Dekat bukan?

Rumah berpagar hitam menyambutnya. Sepi dan tenang. Yah, hidup sebagai anak yatim piatu dengan warisan tak seberapa. Untung ia sering bersyukur dan selalu berdoa agar hidupnya lebih baik.

Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Amplop merah bertali hitam menggantung di pagar. Ia mengambilnya, memeriksa kulit itu yang sama sekali tidak ada nama pengirimnya. Ah simpan saja, siapa tau jackpot atau nomor lotre yang akan keluar malam ini.

Sepi dan sunyi, itu yang pertama kali ia rasakan setelah masuk ke dalam rumah. Tak berganti pakaian atau membuka sepatu, ia langsung melempar dirinya ke atas sofa.

Tangannya sibuk membuka amplop tadi. Entahlah, ia merasakan kalau ada sesuatu yang menarik di dalamnya.

Ah, tidak sesuai dugaan. Ia menghela nafas kesal lalu dengan malas membaca isi surat itu. Ia sedikit kagum melihat tulisan tangan yang rapi dari sang pengirim.

Bukalah salah satu lantai di kelasmu, maka akan ada sesuatu yang menarik di dalamnya.

Ini adalah permainan. Kalau berhasil, maka kamu adalah orang yang beruntung.

Kamu terpilih

Waw, sedikit menarik. Sudut bibirnya terangkat sedikit, ada sesuatu yang terpacu di dalam tubuhnya. Ohh, apakah itu ...?

DOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang