79

535 55 2
                                    

Bunga berteriak tidak jelas di dalam tahanan. Sejak ia masuk ke dalam tempat itu kemarin malam, ia terus saja berteriak minta untuk dilepaskan. Para penghuni sel dan juga polisi yang berjaga yang lain tentu saja merasa terganggu. Mereka menegurnya dengan baik namun sama sekali tidak di dengarkan. 

"Lepasin gue! Gue nggak salah!"

"Hei kalian! Kalian semua salah menangkap orang. Gue nggak salah!"

Bunga terus meracau tidak jelas. Jika ia sudah lelah, ia akan mengiba dengqan menangis.

"Huhuhu lepasin saya pak polisi. Saya nggak salah. Saya nggak mungkin melukai Tante saya. Yang kemarin itu.... saya nggak sengaja."

"Huhuhuhuhu!!"

"Heh elo bisa diem nggak sih! Berisik tau enggak!" Salah satu napi yang paling sangar diantara yang lain menegur Bunga dengan keras.

Bunga hanya menatap perempuan dengan sayatan di pipi itu dengan tatapan yang datar. Ia sama sekali tidak takut dengan perempuan itu. Ia tidak mau di perbudak oleh perempuan itu seperti para napi yang lain. Mereka mau melayani perempuan sangar itu karena takut disiksa.

"Kayaknya dia nggak takut sama bos. Lihat deh! Lirikannya itu loh, kayak ngeremehin gitu," Ucap salah satu napi yang paling dekat dengan perempuan dengan luka sayat di pipi. Yah bisa di bilang perempuan dengan luka sayat di pipi itu adalah bos mereka. Dalam satu sel ada 6 orang termasuk Bunga. Si perempuan dengan luka sayat itu paling mendominasi diantara yang lain. Ia selalu memerintahkan yang lain untuk melayaninya. Misalkan dengan memijat badannya saat ia sedang pegal.

 "Biar aja. Dia belum tahu siapa gue! Gue kasih pelajaran baru tahu rasa," Ucap perempuan itu. Dia langsung berdiri mendekati Bunga yang kembali berterisk memanggil polisi minta untuk dilepaskan.

"Bangun loe!" Ucap perempuan itu dengan pongah.

Bunga menatap perempuan itu dari bawah. "Nggak mau!"

Perempuan itu membungkukkan badannya. Tangannya mencengkram dagu Bunga. "Elo berani ya ngelawan gue?"

"Iya gue berani. Emangnya elo siapa? Kenapa gue harus takut sama elo!"

"Asal elo tahu, gue bisa melakukan apapun semau gue, termasuk menghabisi nyawa loe!"

"Hahaha gue yaki elo nggak ak_huk huk huk!" Perempuan itu mencekik leher Bunga hingga menyebabkan ia kesulitan bernafas. Polisi yang bertugas sedang keluar, Bunga bingung harus bagaimana.

"Dari kemarin pesuruh-pesuruh gue udah ngingetin elo baik-baik, tapi elo nggak ngedengerin sama sekali. Asal elo tahu, membunuh orang seperti elo bukan hal yang sulit buat lakuin. Gue nggak takut bakal dipenjara lebih lama karena gue udah ngerasa seneng hidup di sini. Gue nggak perlu kerja untuk bisa makan." Perempuan itu tersenyum smrik membuat Bunga jadi ketakutan.

"To_To_to long lepasin gue!" Ucap Bunga dengan penuh perjuangan. Untuk mengeluarkan suaranya saja, rasanya sangat susah karena lehernya di cekik begitu kuat.

"Apa? elo ngomong apa? Gue nggak denger."

"Leph_ Lephasin."

"Apanya yang dilepasin?" Bunga memukul tangan perempuan itu karena cekikan di lehernya semakin kuat.

"Elo minta gue ngelepasin tangan gue dari leher lo?" Bunga mengangguk.

"Oke gue bakal lepasin. Tapi elo harus nurut apa yang gue suruh. Ngerti?" Bunga lagi-lagi hanya bisa mengangguk.

Bunga menghirup nafas banyak-banyak saat lehernya sudah terlepas dari cekikan perempuan itu.

"Gue udah nurutin kemauan lo, sekarang lo harus nurutin kemauan gue. Pijitin gue sekarang!" Mau tidak mau Bunga mengikuti perintah perempuan itu. Ia masih ingin hidup lebih panjang.

"Kalian semua bisa istirahat untuk hari ini karena hari ini dia yang akan menggantikan tugas kalian! Mengerti?" Para napi yang selama ini diperlakukan seperti seorang pesuruh tentu saja merasa senang. Mereka akhirnya bisa beristirahat.

Bunga berdiri di belakang perempuan yang mengklaim dirinya sebagai bos. Tangannya yang kaku mulai memegang bagian pundak perempuan itu. Ini adalah kali pertama ia melakukan hal seperti ini. Biasanya dia yang selalu dipijat, bukan malah sebaliknya. Entah apa yang dilakukannya ini benar atau tidak, ia tidak perduli.

"Jangan kenceng-kenceng bego! Elo mau bunuh gue ya?" Bunga tersentak. Ia kaget mendengar suara perempuan itu karena sangat memekakkan telinga.

"Nggak sengaja,"

"Sekali lagi elo ngelakuin yang kayak gitu, mati elo di tangan gue!" Bunga hanya bisa pasrah. Kini ia melakukannya dengan lebih lembut. Bunga bertekad, ia harus segera keluar dari tempat ini. Ia harus menghubungi kedua orang tuanya dan meminta mereka untuk membebaskannya.

"Gimana keadaan Mama?"

"Mama baik. Kamu sendiri bagaimana? Cucu Mama gimana?"

"Syifa baik-baik aja kok Ma. Calon cucu Mama juga baik-baik aja. Mama kapan keluar dari sini?"

"Sebenarnya Mama udah bisa keluar tapi ya kamu tahulah gimana protektifnya Rama. Dia nggak ngizinin Mama buat pulang." Syifa melirik sebentar pada  sang suami yang berdiri di sampingnya. Orang yang melihatnya pasti tahu tatapan Ibu hamil itu penuh dengan kekesalan.

"Aku setuju sih. Mama emang harus dirawat dulu untuk memastikan kondisi Mama benar-benar membaik."

"Tuh kan Ma, Syifa aja setuju sama Rama. Jadi Rama melakukan ini semua juga untuk kebaikan Mama." Rama yang sejak tadi diam, akhirnya memiliki kesempatan berbicara juga.

"Iya. Terima kasih ya buat kalian bedua karena sudah mengkhawatirkan keadaan Mama. Kalian memang anak-anak yang baik. Mama sayang sama kalian."

"Sudah seharusnya begitu Ma. Iya kan sayang?"

Syifa tidak menjawab. Ia malah membuang muka.

"Ma, Syifa kembali ke kamar dulu ya. Mama sehat-sehat."

"Iya. Kalian juga ya. Kamu dan calon cucu Mama."

Syifa tersenyum. "Mbok, bisa anterin saya balik ke ruang rawat enggak?"

Mbok Nah tersenyum. "Tentu saja bisa nona cantik. Mari Mbok antarkan." Mbok Nah langsung mengambil posisi berdiri di belakang kursi roda yang di duduki oleh Syifa. Mbok Nah tahu, menantu majikannya ini sedang kesal dengan suaminya. Gara-garanya perempuan yang tengah hamil itu tidak diberi tahu jika Mama mertuanya masuk ke rumah sakit. Mbok Nah sendiri tadi sudah diberi perintah oleh Rama untuk menjaga istrinya karena sang istri tidak mau dekat dengannya.

"Kamu nggak nguikut Syifa ke ruangannya?" Tanya Mama Asti pada putranya yang kini malah duduk di samping ranjang tempat tidurnya.

"Nggak Ma. Syifa lagi marah. Kalau Rama kekeuh mau deket-deket sama dia, yang ada marahnya akan semakin menjadi-jadi. Rama nggak mau hal itu terjadi karena itu akan membahayakan kandungannya." Rama sudah cukup lama mengenal Syifa. Ia cukup tahu bagaimana karakter wanita yang kini berstatus sebagai istrinya itu. Syifa akan lebih marah jika orang yang membuatnya marah, muncul di hadapannya. Syifa pernah bilang, jika ia sedang marah, berikan ia waktu sebentar untuk menenangkan diri lebih dulu, barulah ia bisa diajak mengobrol.

  "Tapi kamu jangan lama-lama ninggalin Syifa. Dia sekarang lagi hamil. Dia butuh kamu untuk ada di sampingnya." Rama hanya mengangguk.

"Oh iya, kamu nggak ngasih tau Papa kamu kan soal keadaan Mama sekarang? Papa kamu lagi banyak pekerjaan, biarkan dia fokus sama pekerjaannya dulu."

"Iya Ma." Rama memang tidak memberitahukan pada Papanya tentang kondisi yang saat ini menimpa Mamanya. Tapi bukan berarti Papanya itu tidak tahu. Beliau sudah tahu dari pengawal yang langsung melapor setelah kejadian. Namun Papa Deni tidak bisa langsung pulang karena ia sendiri sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Ia memantau keadaan sang istri dari jauh berdasarkan laporan orang kepercayaannya.

KANG MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang