"Rencana Papa sekarang gimana?Papa mau pasrah aja dan membiarkan kita semua berada di dalam penjara?" Tanya Baron pada Papanya.
"Entahlah. Papa juga bingung," Jawa. Bayu pasrah.
"Ckck kenapa harus bingung. Dengan Papa bingung, kita nggak akan bisa keluar dari sini." Baron merubah posisinya sedikit menyerong ke arah Papanya.
"Gimana kalau Papa ketemuan lagi sama Om Deni. Papa minta maaf ke Om Deni dan Papa bilang kalau Papa sangat menyesal melakukan itu semua."
Bayu menghela nafas. Ia tidak yakin jika ia meminta maaf makan kesalahannya akan di maafkan oleh Kakak sepupunya itu. Kemarin saja, waktu mereka bertemu, Deni terlihat sangat marah kepadanya. Laki-laki itu hanya diam dan menatapnya dengan tatapan yang bercampur aduk. Marah, sedih, dan kecewa menjadi satu.
"Om kamu nggak akan memaafkan kesalahan Papa kali ini."
Baron berdecak kesal. Menurutnya sang Papa sangatlah pesimis. Dicoba saja belum, sudah mengatakan demikian.
"Kemarin waktu kami bertemu, Om kamu tidak berkata sepatah katapun. Akan tetapi Papa tahu jika Om kamu menahan kesal dan amarah yang amat mendalam kepada Papa. Papa merasa bersalah atas apa yang sudah Papa lakukan," Ucap Bayu penuh penyesalan. Sungguh ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Ia sangat-sangat menyadari bahwa apa yang sudah ia lakukan ini adalah kesalahan besar. Ia yang bodoh menuruti perintah istrinya karena saking besarnya cinta yang ia miliki pada perempuan itu. Tapi sayangnya, sang istri justru berkhianat. Istrinya tega meninggalkannya di kamar hotel dengan membawa harta yang sudah ia rampas. Walaupun ujung-ujungnya perempuan itu juga ikut di tangkap, Bayu masih merasa kesal akan tindakan sang istri.
"Jadi Papa nggak mau memperjuangkan kebebasan kita dari sini?" Bayu hanya diam. Baron yang sudah paham, pergi meninggalkan Papanya.
"Punya Papa tapi nggak guna!" Cibir Baron sebelum pergi.
Baron, Bunga dan Sinta kembali bersatu. Dalam satu kesempatan, ketiganya memiliki waktu untuk mengobrol bersama. Baron pun menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan sang Papa. Sinta yang mendengarnya tentu saja murka. Bagaimana bisa suaminya pasrah begitu saja? Apakah laki-laki itu sudah tidak sayang kepada keluarganya? Sungguh, Sinta tidak habis pikir. Ia berjanji akan membalas suaminya atas tindakan bodoh yang sudah dilakukan oleh laki-laki itu.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang Ma?" Tanya Baron.
"Pastinya kita harus keluar dulu dari tempat ini. Lama-lama di sini, Mama bisa gila. Baru dua hari berada di sini, hari Mama sudah hampir patah!" Sinta mengangkat jari telunjuknya yang di balut dengan perban. Dia masih beruntung masih memiliki jari tangan. Perempuan gila yang melakukan ini belum sampai memutuskan jari telunjuknya. Itu semua karena Sinta yang terus berteriak hingga memicu kedatangan sipir yang langsung menjauhkan perempuan bertato itu dari dirinya. Jika tidak ada pertolongan, mungkin Sinta bukan hanya kehilangan jarinya tapi juga tangannya.
"Tapi bagaimana caranya Ma?"
Sinta melirik Baron dengan sinis. "Kamu tanya sama Mama? Coba sekali-kali otak kamu itu kamu gunakan! Punya otak kok nggak guna! Apa-apa harus Mama yang mikir!"
Baron hanya berdecak. "Baron nggak bisa mikir Ma kalau lagi kayak gini. Otak Baron rasanya buntu." Ucapnya frustasi. Ia menjambak rambutnya karena kesal.
"Buntu terus! Setiap Mama nyuruh kamu buat mikir, kamu pasti bilang otak kamu lagi buntu! Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu cari cara supaya kita bisa keluar!"
"Caranya?" Tanya Baron polos.
Sinta yang geram pun menggeplak kepala putranya. "Pikir sendiri! Bunga! Kamu bantuin Abangmu! Atau kamu mulai betah di sini dan nggak mau keluar?"
"Ya maulah Ma."
"Ya udah bantuin Abangmu mikir! Mama mau_"
"Ma, itu bukannya Papa?" Ucapan Baron memotong ucapan Mamanya.
"Iya. Itu Papamu. Mau ke mana dia?" Tanya Sinta pada kedua anaknya.
"Entah," Jawab kedua anaknya berbarengan. Mereka hanya bisa bertanya-tanya. Sejak Bayu membuatnya kesal, Baron tidak lagi kau berbicara dengan Papanya. Jadi apapun yang direncanakan ia tidak tahu.
Bayu di bawa ke sebuah ruangan. Di sana, Deni serta Juan sudah menunggu. Bayu di dudukkan tepat di hadapan Deni. Bayu hanya menatap Kakak sepupunya. Sungguh ia merasa sangat menyesal telah melakukan hal itu. Ia merasa bersalah. Ia bodoh sudah menuruti perintah istrinya. Untuk bisa bertemu dengan Deni saat ini, Bayu menahan rasa malu yang amat besar. Selama ini, Deni selalu baik kepada dirinya tapi ia justru membalasnya dengan hal yang jahat.
"Ada apa?" Deni bertanya pada Bayu karena sejak tadi dia hanya diam saja.
Bayu mengangkat wajahnya yang sejak tadi hanya menunduk. Matanya sudah memerah tapi sebisa mungkin ia tahan agar tidak menangis.
"Ada apa kamu memanggil saya kemari?" Tanya Deni sekali lagi.
"Sa_saya ma_mau minta maaf sama Mas," Jawabnya dengan terbata.
"Mudah sekali kamu meminta maaf setelah apa yang kamu lakukan?" Pertanyaan sinis itu membuat Bayu merunduk. Tidak biasanya Kakak sepupunya ini berkata demikian.
"Saya tau, saya sudah melakukan kesalahan yang besar. Maka dari itu, saya mau meminta maaf sama Mas Deni. Saya mengakui kesalahan saya dan saya tidak akan melawan. Saya pasrah atas hukuman yang sekarang saya terima. Mas boleh menuntut saya dengan hukuman seumuran hidup jika itu bisa membuat Mas memaafkan kesalahan saya. Bahkan saya rela dihukum mati jika itu bisa menebus kesalahan yang sudah saya lakukan."
Deni melihat tatapan mata adiknya. Terlihat raut penyesalan di sorot mata itu. Mata Bayu pun kini dibanjiri dengan lelehan air yang terus mengalir membasahi pipinya. Deni yang melihatnya merasa iba. Terakhir Deni melihat Bayu menangis saat adik sepupunya itu ditinggalkan oleh sang ayah untuk selama-lamanya.
"Pak Bayu, apa Bapak melakukan ini semua agar Pak Deni membebaskan Anda dari sini?"
Pertanyaan Juan langsung dijawab gelengan kepala oleh Bayu.
"Tidak Juan. Om benar-benar ingin meminta maaf. Om tidak akan minta untuk dibebaskan. Om hanya ingin hidup tentram dan tidak lagi dibayang-bayangi rasa bersalah."
Deni dan Juan saling menatap. Deni menganggukkan kepalanya.
"Mas sudah memaafkanmu tapi Mas tidak bisa membebaskanmu dari sini."
Bayu mendongak. Ia tersenyum menatap Deni. Dipegangnya tangan Deni yang ada di atas meja. Tak segan, ia mencium tangan Kakak sepupunya itu.
"Terimakasih sudah memaafkan saya mas. Saya tidak masalah menerima hukuman ini," Ucap Bayu tulus. Ia memang sudah ikhlas dengan apa yang terjadi saat ini. Peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, membuat ia sadar bahwa jalan yang ambil selama ini adalah salah.