🌜83🌛

427 39 0
                                    

Rama menatap istrinya yang tengah asyik menikmati es pisang hijau yang ada di pinggir pantai Losari yang ada di kota Makassar. Istrinya terlihat sangat bahagia menyantap kudapan berbahan dasar pisang itu. Rama hanya bisa tersenyum melihat istrinya. Jika sang istri bahagia, ia pun sama. Apapun akan ia lakukan demi istri dan calon anaknya.

Permintaan Syifa tempo hari tidak langsung diiyakan oleh Rama. Ia sempat merayu sang istri agar mengganti ngidamnya dengan hal lain. Akan tetapi Syifa menolak. Syifa teguh pada pendiriannya. Ia hanya ingin makan es pisang hijau dari kota asal makanan itu.

Rama sempat meminta bantuan pada Mama serta Ibu mertuanya. Ia meminta keduanya untuk membujuk Syifa. Namun Rama harus kembali menggigit jari. Bujukan keduanya pun tidak diindahkan oleh sang istri. Yang ada Syifa malah marah padanya karena sudah melibatkan dua wanita paruh baya itu.

Rama yang tidak suka jika Syifa marah, akhirnya luluh juga. Ia menuruti keinginan ngidam istrinya dengan syarat kondisi Syifa harus benar-benar sehat. Sebelum berangkat, Rama membawa istrinya ke dokter kandungan untuk memastikan semuanya agar berjalan lancar. Bersyukurnya kondisi Syifa dan kandungannya baik-baik saja.

"Akang nggak makan? Ini enak loh!" Lamunan Rama tersadar setelah mendengar ucapan istrinya.

"Oh iya. Ini mau makan." Rama mulai menyuapkan satu sendok es pisang hijau ke dalam mulutnya.

"Adek mau nambah lagi?" Tanya Rama karena melihat mangkuk milik Syifa sudah hampir habis.

"Enggak deh. Hari ini udah cukup. Besok lagi aja," Jawab Syifa sambil terkekeh.

"Ya udah besok dilanjut lagi. Habis ini mau langsung pulang ke hotel apa mau jalan-jalan dulu?"

Syifa berpikir. "Pengen jalan-jalan dulu," Jawab Syifa dengan wajah yang dibuat menggemaskan.

"Ya udah boleh. Tapi ingat kan pesan dokter tadi."

"Iya. Nggak boleh terlalu capek kan?"

"Pintar!" Rama mengelus kepala Syifa yang di tutupi oleh hijab berwarna coklat.

"Ya udah, Akang habisin ini dulu ya. Habis itu kita pergi jalan-jalan di sekitaran sini."

"Oke!"

Di tempat dan suasana yang berbeda, Bunga dan Mamanya kini bersatu di balik jeruji besi. Pasangan ibu dan anak itu kompak menggunakan pakaian berwarna oranye, sama seperti para napi lainnya.

Saat pertama kali bertemu, Bunga kaget karena melihat Mamanya dibawa oleh polisi dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Ia mengira Mamanya sudah pergi ke luar negeri dan bersenang-senang di sana bersama Papanya. Namun ternyata dugaannya salah. Mamanya juga tidak jadi pergi dan malah berakhir di penjara.

Tepat pukul 12, para napi mendapatkan jatah makan siangnya. Bunga yang sudah lebih dulu masuk, tentu sudah tidak asing dengan menu yang disediakan. Ia mulai memakan makanan yang disediakan dengan terpaksa. Yah terpaksa. Lebih baik dia makan makanan yang sederhana ini daripada tidak makan sama sekali.

Berbeda dengan Bunga yang sudah mulai makan jatah siangnya, Mama perempuan itu justru hanya diam saja. Ia memandangi nasi putih serta tumis kacang panjang yang ada di dalam piring aluminium. Hanya dua macam menu yang disajikan dan tidak ada lagi menu lainnya. Sungguh ia tidak berselera melihat makanan ini. Apakah ini layak disebut makanan? batin Sinta.

"Mama kenapa nggak makan?" Tanya Bunga karena Mamanya sama sekali tidak menyentuh menu makanan yang disediakan oleh sipir penjara.

"Mama nggak doyan," Jawabnya singkat.

"Nggak ada makanan lain apa?" Tanya wanita itu lagi.

Bunga menghela nafas dan menatap Mamanya dengan malas. "Mama mau ganti makanan lain?" Sinta langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Mama pikir ini restoran yang bisa minta ganti makanan sesuai keinginan kita? Hello Mamaku sayang! Kita lagi ada di penjara. Jadi jangan meminta sesuatu yang nggak akan mungkin Mama dapetin. Jadi mendingan Mama makan aja apa yang ada!"

"Mama nggak mau! Mama nggak biasa makan makanan beginian!"

"Mama pikir aku mau makan makanan beginian? Kalau nggak terpaksa juga aku nggak akan mau!" Mendengar nada tegas yang diucapkan sang putri membuat Sinta merengut.
Awalnya Bunga juga enggan memakan makanan yang disediakan di dalam lapas. Ia sempet memberontak dan meminta makanan lain yang sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi bukannya mendapat makanan baru, makanan yang seharusnya ia makan malah diambil oleh napi lain. Alhasil Bunga hanya bisa menahan lapar karena saat akan meminta makanan lagi, petugas mengatakan makanannya sudah habis.

Bunga melihat salah satu napi yang berkuasa di sel yang sama dengannya berjalan mendekat. Perempuan dengan tato di wajah itu tersenyum smirk menatap ia dan juga Mamanya. Bunga menyenggol lengan Mamanya.

"Mama mendingan makan sekarang atau Mama baru akan bisa makan malam nanti atau bahkan besok pagi," Ucap Bunga dengan lirih.

"Mama nggak mau! Mama nggak doyan makanan begini_an."

"Ohh jadi elo nggak suka sama makanan ini? Oke kalau gitu buat gue aja." Tanpa menunggu persetujuan Sinta, perempuan bertato itu mengambil jatah makan milik Mama Bunga itu. Perempuan itu langsung duduk di hadapan Sinta dan mulai mengunyah makanannya.

"Silahkan! Gue nggak doyan makanan begituan," Ucap Sinta dengan ketus. Ia menatap jijik pada perempuan yang kini ada di depannya. Cara makan perempuan itu membuat dirinya mual.

"Elo nggak pernah makan ya?" Tanya Sinta.

"Apa urusan Lo?" Jawab perempuan itu dengan mulut yang penuh dengan nasi. Saking penuhnya, beberapa butir nasi keluar saat ia berbicara.

"Loe jor_aww kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu nyubit Mama?" Sinta menatap putrinya dengan penuh amarah. Ia kesal karena tiba-tiba perutnya di cubit.

"Udah Ma. Jangan di lanjutin. Nanti Mama bakalan nyesel." Bunga mencicit. Ia takut Mamanya kena amuk perempuan yang kini ada di hadapan mereka berdua. Bunga pernah dikerjai oleh perempuan itu dan ia hanya berusaha menyelamatkan Mamanya.

"Nyesel kenapa? Asal kamu tahu ya! Mama tuh nggak takut sama dia! Apa yang kamu takutin dari dia? Mama perhatiin, dari kemarin kamu sama orang-orang itu patuh banget sama dia. Emang dia siapa?" Dengan beraninya, Sinta menunjuk perempuan bertato itu dengan jari telunjuknya.

Bunga menutup matanya. Mamanya sungguh berani. Dia yang kemarin melawan seperti itu saja diberi hukuman yang cukup membuatnya menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Bagaimana dengan Mamanya sekarang?

"Awwww!" Sinta berteriak sangat kencang saat jarinya di putar oleh seseorang.

"Kamu berani ya sama gue? Belum tahu siapa gue?"

"Gue_awww!!" Sinta kembali berteriak karena jarinya diputar lagi.

"Bos jangan bos! Kasihan Mama saya," Ucap Bunga memelas. Sinta berusaha melepaskan jarinya dengan menariknya sekuat tenaga. Namun bukannya terlepas, jarinya malah terasa semakin sakit. Perempuan bertato itu meminta anak buahnya untuk memegangi tangan Sinta yang lainnya karena tangan itu di gunakan untuk memukulinya.

"Bos saya mohon lepasin Mama saya." Pinta Sinta memelas.

"Diam loe!" Sentak perempuan itu. Kemudian dia menatap Bunga dengan seringainya. 
"Atau kamu mau kena hukum juga?" Bunga langsung menggeleng cepat.

"Lepasin jari saya!"

"Ohh loe minta jari loe ini di lepasin? Oke!" Sinta tentu saja sumringah mendengar ucapan perempuan itu. Namun belum saj ia bernafas lega, nafasnya kembali membara saat perempuan itu mengeluarkan pisau lipat dari dalam bajunya.

"Loe minta jari loe di lepasin kan? Bakalan gue lepasin. Kurang baik apa coba gue." Perempuan itu menatap Sinta dengan seringainya. Pisau lipat itu sudah terbuka. Sinta pun semakin panik. Ia berusaha menarik tangannya saat perempuan itu mengarahkan pisaunya pada jari telunjuknya.

"Jangan!"

"Katanya tadi minta di lepas.  Gimana sih?" Perempuan itu berpura-pura kesal.

"Nggak jadi!"

"Ahh udah terlanjur. Pisau ini juga udah keluar dari tempatnya. Jadi ya harus di gunain." Sinta semakin panas dingin saat pisau semakin mendekati jarinya.

"Ja_awwww!"

KANG MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang