Sinta berjalan dengan lunglai. Ia baru saja menghubungi teman-temannya menggunakan telepon yang disediakan di kantor polisi. Harapannya untuk meminta bantuan pada teman-temannya musnah sudah. Mereka tidak ada yang mau membantu dengan berbagai macam alasan. Sinta jadi bingung, cara apa yang akan ia gunakan untuk bisa keluar dari penjara jika tidak ada yang mau membantunya? Minta bantuan keluarganya? Sinta yakin mereka tidak akan mau membantu. Hampir semua anggota keluarganya mata duitan. Jadi mereka tidak akan mau membantu jika tidak mendapatkan uang.
Bunga segera menghampiri Mamanya saat petugas mengantarkan Mamanya kembali ke dalam sel. Wajahnya begitu antusias. Ia sangat berharap Mamanya membawa kabar baik.
"Gimana Ma? Teman Mama ada yang bantuin kita kan? Siapa Ma? Tante Sonya? Tante Rini? atau Tante Tari?" Bunga langsung memborbardir Mamanya dengan banyak pertanyaan.
"Kok Mama diam aja sih? Mama mau nge-prank aku ya?" Melihat Mamanya yang diam saja dan tidak menjawab, membuat Sinta berpikiran bahwa Mamanya tengah mengerjai dirinya.
"Ma! Jawab dong!"
"Kamu berisik banget sih Bunga! Kamu nggak tau apa ya kalau Mama lagi pusing!" Bentak Sinta.
"Woy! Berisik banget sih kalau berdua. Gue lagi mau tidur nih!" Perempuan bertato yang satu sel dengan Bunga dan Sinta membentak keduanya. Dia yang baru akan tidur, merasa terganggu dengan suara pasangan Ibu dan anak itu.
Nyali Bunga dan Sinta jadi menciut. Keduanya sangat takut dengan perempuan itu. Sinta takut karena perempuan itu pernah mengancamnya, jika Sinta melakukan sesuatu yang membuat perempuan itu kesal, maka Sinta harus bersiap dihukum olehnya.
"Daripada kalian berdua ribut, mendingan sini! Pijitin gue kayak yang lain!"
Sinta dan Bunga langsung berjalan mendekat. Mereka patuh karena tidak mau mencari masalah dengan perempuan itu.***
Waktu terus berlalu. Bayu beserta anak dan istrinya baru saja keluar dari ruang sidang. Proses penjatuhan hukuman bagi mereka memang diadakan bersamaan. Bayu keluar dari ruangan dengan wajah yang lega. Tidak ada rasa sedih yang terpancar di wajahnya. Ia merasa lega karena sudah ikhlas dengan apapun yang akan diterimanya.
Berbeda dengan Bayu, Sinta terlihat sanga lesu. Tadi, setelah hakim membacakan tuntutan hukuman kepada dirinya, Sinta langsung berteriak histeris. Ia tidak terima atas hukuman yang di jatuhkan kepada dirinya. Ia merasa tidak seharusnya mendapatkan hukuman selama itu. Ia berniat mengajukan banding akan tetapi ia bingung, kepada siapa dirinya akan meminta tolong. Akhirnya ia hanya bisa pasrah.
Bunga dan Baron pun sama dengan Mamanya. Mereka terlihat lesu saat keluar dari ruang sidang. Bedanya, mereka masih bisa menguasai diri. Mereka hanya syok terhadap hukuman yang akan mereka jalani nantinya.
Rama dan Papanya turut hadir dalam pembacaan tuntutan terhadap Bayu dan keluarganya. Keduanya sengaja datang dan meluangkan waktu untuk memberi semangat pada Bayu. Bagaimanapun kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki itu, dia tetaplah adik sepupu Papa dari Rama. Kejahatan yang Bayu lakukan tidak akan pernah menghapus ikatan darah diantara Bayu dan Deni.
Rama dan Papanya menemui Deni setelah keluar dari ruang sidang. Mereka sengaja menunggu di luar karena di dalam sana terlalu sesak.
Bayu yang melihat Kakak sepupunya, langsung berlari dan berjongkok dihadapan laki-laki itu.
"Terimakasih Mas! Terimakasih karena Mas Deni sudah mau datang dan menemaniku di persidangan sebagai keluarga."
"Berdiri Bayu!" Deni membantu Bayu untuk berdiri. Di pegangnya pundak yang sudah tidak lagi tegap itu.
"Mas berharap kamu bisa menjadi orang baik setelah keluar dari sini. Jalani semua ini dengan ikhlas." Bayu hanya mengangguk. Ia lalu menatap Rama yang terlihat bahagia.