🌜71🌛

767 72 7
                                    

"Kalau gitu Akang balik ke kantor lagi ya. Adek istirahat. Jangan ngerjain pekerjaan rumah! Itu udah ada yang ngerjain. Mengerti!"
Syifa mengangguk. Gara-gara ia ketahuan membantu mengerjakan pekerjaan rumah, Syifa jadi kena omel oleh suaminya. Rama hanya tidak ingin istrinya kelelahan.

Syifa mencium tangan Rama dan dibalas ciuman di kening oleh suaminya.

"Akang hati-hati ya. Kalau udah sampai kantor, kasih tau ya."

"Iya."

Syifa keluar dari mobil dan melambaikan tangan saat mobil suaminya mulai melaju. Mereka baru saja makan siang bersama dan Rama harus segera kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya.

Syifa masuk kedalam rumah dengan hati yang gembira. Senyum tidak pernah luntur setelah ia sah menjadi istri dari seorang Mahanta Rama Denias. Rama memperlakukannya dengan sangat baik. Ia selalu dijadikan prioritas dan selalu menjadi yang utama dalam hidup Rama.

"Seneng banget. Habis darimana?" Syifa menghentikan langkahnya saat mendengar ada yang bertanya. Ia mengedarkan pandangannya dan matanya terbuka lebar melihat seseorang yang tengah duduk di depan TV.
Orang itu tersenyum sangat lebar. Syifa yang melihatnya justru merasa takut dengan senyum lebar dari bibir Baron.
Baron berdiri dan menghampiri Syifa.

"Kok pertanyaan gue nggak dijawab? Gue tanya loh, apa yang membuat elo tersenyum bahagia kayak gitu? Ayo dong cerita,kasih tau gue apa yang elo rasain. Kebetulan gue lagi sedih nih. Gue butuh hiburan. Siapa tau, setelah mendengar kebahagiaan yang elo rasain sekarang, gue bisa ketularan ikut bahagia."

Syifa meremas tas selempangnya dengan erat. Ia menoleh kanan dan kiri, tidak ada orang sama sekali di sini. Biasanya jam-jam segini, para pekerja di rumah ini berada di belakang atau di luar rumah.

"Elo kenapa diam aja sih? Ayo dong jawab. Elo masih inget gue kan?" Syifa tidak berani mengangkat kepalanya. Ia melirik ke belakang melalui ekor matanya. Pintu utama masih sangat jauh.

"Maaf, bisa kamu menyingkir? Saya mau ke atas."

"Nggak mau! Sebelum loe menjawab pertanyaan gue, gue nggak akan pergi!"

Syifa menarik nafas dalam. Ia melangkahkan kakinya ke kiri, Baron juga ikut ke kiri. Syifa melangkahkan kakinya ke kanan, Baron juga ikut ke kanan.

Syifa merasa kesal. " Sekali lagi saya bilang, tolong minggir dari hadapan saya!"

Baron tidak bergeming. Ia masih tetap berdiri di hadapan Syifa.

"Apa mau mu sebenarnya? Saya tidak ada urusan dengan kamu?"

"Kamu memang tidak ada urusan dengan saya, tapi saya memiliki urusan dengan kamu. Saya ingin curhat dengan kamu."

"Maaf saya bukan teman mu yang bisa kamu ajak curhat. Jadi saya sarankan, jika kamu mencari teman curhat, cari yang lain saja."

"Tapi gue maunya sama elo. Gimana dong."
Baron semakin melangkah maju. Syifa yang takut lelaki itu melakukan yang tidak-tidak, memilih untuk mundur.

"Ngomong-ngomong elo kalau lagi senyum kayak tadi, cantik juga ya."
Jika yang mengatakan ini adalah Rama, Syifa pasti akan sangat tersanjung. Namun saat kata-kata pujian itu keluar dari mulut Baron, Syifa jadi merinding.

"Elo jangan mundur terus. Nanti bisa nabrak guci kesayangan tante Asti loh."
Syifa melirik ke belakang. Benar. Tepar di belakangnya ada guci besar milik mama mertuanya.

"Kamu berhenti di situ! Jangan maju lagi!"
Syifa mengangkat tangan agar Baron berhenti mendekatinya.

"Kenapa sih? Kayaknya elo nggak seneng gitu gue deketin? Takut naksir gue ya?"
Badan Syifa bergidik ngeri. Sungguh hal seperti itu tidak pernah terlintas di benaknya. Syifa sudah memiliki Rama, satu-satunya laki-laki yang ia cintai dan Syifa tidak akan pernah berpaling darinya.

"Berhenti atau saya akan berteriak dan memanggil bodyguard!!"

Syifa terus berjalan mundur karena Baron terus merangsek maju. Badan Syifa tidak bisa mundur lagi. Ia meraba benda di belakang badannya yang terasa sangat dingin. Rupanya ia sudah di depan guci milik Mama mertuanya.

Baron terkekeh saat melihat Syifa tidak bisa mundur lagi. Syifa semakin tegang saat Baron mengangkat tangannya.

"Sayang!" Syifa dan Baron langsung menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Syifa yang sangat hapal suara itu, langsung berlari menghampiri.

"Akang!" Syifa melingkarkan tangannya di lengan Rama dengan erat. Wajah Syifa nampak berbinar melihat keberadaan Rama di sini.

"Adek senang banget? Ada apa?"

"Karena Akang ada di sini." Jawab Syifa singkat. Rama tersenyum dan mengusak kepala istrinya yang ditutupi kerudung.

"Hai Ram!"

"Baron? Ngapain elo di sini?" Tanya Rama. Sejak Baron dan Bunga keluar dari rumah empat bulan yang lalu, sepupunya ini tidak pernah datang lagi ke rumah. Rama tidak tahu ke mana mereka pergi dan tinggal. Orang tua Baron yang masih tinggal di rumah Rama pun tidak pernah membicarakan anak-anaknya saat mereka sedang berkumpul.

"Main aja," Jawab Baron santai.

"Oh iya, gue mau tanya. Kemarin gue lihat Della sama laki-laki. Siapa dia?"

"Pacarnya kali," Jawab Baron cuek.

Rama mengernyitkan kening. "Pacar? Maksud loe?"

"Gue sama Della udah pisah. Dia minta cerai setelah keluar dari rumah ini."

Syifa terkejut. Rama hanya manggut-manggut.

"Ohh pantes. Dia kemarin kelihatan mesra banget sama laki-laki itu."

Rama menepuk bahu Baron. "Gue doain semoga cepet dapat gantinya."

"Yang kayak bini loe ya?"

Rama menatap tidak suka pada Baron.

"Nggak salah dong kalau gue pengen punya istri yang kayak istri loe. Dia cantik dan baik." Lanjut Baron.
Rama semakin menatap tajam Baron. Tangannya sudah mengepal dan siap dilayangkan kapan saja. Tatapan Baron pada Syifa membuat darah Rama naik.

Rama maju dan menarik kerah kemeja yang digunakan Baron.
"Jaga mata loe! Dia istri gue! Kalau sampek gue tahu elo deketin dia, habis elo ditangan gue!"
Rama menghempaskan badan Baron hingga membuat laki-laki itu terhuyung.

Rama merangkul Syifa dan mengajaknya ke atas. Ia kembali ke rumah karena harus mengambil berkas yang tertinggal di ruang kerjanya. Rama beruntung karena ia kembali tepar waktu.

Rama memutuskan untuk membawa sang istri ke kantor. Ia tidak rela meninggalkan istrinya di rumah dengan Baron yang masih ada di sana.
Syifa tentu saja senang saat Rama mengajak ke kantor. Ia sangat bersemangat, mengingat di rumah mertuanya masih ada laki-laki ganjen itu.

Di ruangan lain, Pak Deni yang tak lain adalah Papa dari Rama sedang berdiskusi dengan asistennya. Kepalanya terasa pening karena melihat banyaknya kecurangan yang terjadi dalam pembangunan proyek yang ditangani oleh Bayu.

"Bagaimana bisa? Kita kecolongan sampai nominal sebesar ini? Bukankah kita selama ini selalu memantau kinerjanya?" Tanya Pak Deni pada dirinya sendiri.

"Maaf Pak. Sepertinya, Pak Bayu tidak bergerak sendiri. Ada orang yang turut membantu sehingga kecurangan yang ia lakukan tidak terlihat oleh kita," Jawab asistennya.

"Lalu bagaimana dengan proyek itu? Apakah ada kendala?"

"Untuk saat tidak ada Pak tapi yang saya takutkan, kendala akan terjadi di kemudian hari, mengingat bahan-bahan yang mereka beli jauh di bawah standar."

Pak Deni menarik napasnya dalam. Proyek yang ditangani oleh Bayu sudah berjalan 60% artinya bangunan itu sudah berdiri tegak. Jika material yang digunakan untuk membangkitkan adalah material dengan kualitas yang tidak bagus, Pak Deni takut bangunan itu tidak akan bertahan lama. Jika itu terjadi, maka perusahaannya yang akan memiliki citra buruk.

Ini tidak bisa dibiarkan. Bayu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya.

KANG MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang