Halaman hijau di pagi hari. Tembok rumah sakit yang berjejeran mengelilingi taman yang ditumbuhi oleh berbagai pohon yang besar di setiap ujungnya.
Di tengah halaman yang tenang dan lalu lalang oleh orang-orang itu, semuanya berpakaian serba putih. Pakaian rumah sakit dengan orang-orang yang memakainya. Para pasien itu setiap pagi masing-masing dituntun oleh satu orang suster.
Di pinggiran halaman yang rindang dan sejuk di pagi hari itu, seorang pasien perempuan duduk dengan tenangnya sedangkan wajahnya terus menengadah ke atas.
Perempuan itu diam menikmati pemandangan alam yang sangat indah itu. Pagi yang cerah, dengan langitnya yang biru dan awannya yang putih.
Belum lagi, matahari yang menyinarinya di pukul tujuh pagi itu masih ramah menghangatkan suasana di sekitarnya. Sehingga perempuan itu tidak merasakan kedinginan.
Setiap pagi, perempuan yang rambut tebal dan mengembang tergerai itu tidak pernah absen untuk menikmati pemandangan alam di pagi hari.
Sedangkan ketika cuaca mendung, bahkan sampai hujan, perempuan itu tetap tidak absen untuk menikmati pemandangan kesukaannya itu.
"Itu, pak. Orang yang bapak maksud." Ucap seorang suster kepada seorang pria yang berdiri di sebelahnya.
Suster itu menunjuk seorang perempuan yang duduk di bangku taman itu dengan tenangnya. Wajah pria itu tersenyum senang. Terlihat dari bahunya yang mengembang.
Pria yang berpakaian semi formal itu berjalan pelan menuju bangku taman itu bersama suster yang sedari tadi bersamanya. Di bangku taman itu memang masih tersedia satu tempat kosong.
Sesudah suster itu mengantarkan pria di sebelahnya, ia secara sopan minta ijin untuk undur diri untuk mengerjakan pekerjaannya yang lain. Pria itu pun ikut menunduk sopan kepada suster itu untuk memberikan ijin.
Setelah suster itu berlalu, pria itu duduk di sebelah perempuan yang sedari tadi wajahnya terus menengadah ke langit.
"Langitnya indah, ya." Ucap pria itu setelah beberapa saat duduk tertegun memandangi wajah kekasihnya itu.
Perempuan itu hanya diam. Mulutnya menganga karena takjub dengan pemandangan yang biasanya selalu ia lihat setiap hari.
Perempuan itu saking terpukaunya sampai mengabaikan kehadiran sesosok pria yang sejak beberapa menit lalu telah berada di sebelahnya.
Pria itu sama sekali tidak tersinggung karena keberadaannya diabaikan. Ia sama sekali mengerti apa yang terjadi pada perempuan di sebelahnya.
Sambil terus memandangi wajah perempuan yang semakin tembam itu, pria tetap tersenyum manis setelah beberapa saat perempuan itu tidak membalas pernyataannya barusan.
"Kamu masih suka memandangi langit, ya? Bahkan dengan keadaanmu seperti ini, kamu masih menyadari apa yang paling kamu suka." Ucap pria itu setelah puas memandangi wajah orang yang paling dicintainya itu. Pria itu pun kembali menatapi langit biru itu.
Perempuan itu masih mengabaikan perkataan pria di sebelahnya.
Setelah beberapa menit kemudian, pria itu merasa letih menatap langit. Tengkuknya terasa pegal karena wajahnya terus menengadah ke arah langit. Lantas ia pun menundukkan kepalanya untuk meregangkan tengkuknya.
Sambil takut-takut, pria itu memegang tangan perempuan itu yang kini terlihat begitu semakin gempal. Walaupun perempuan itu semenjak masuk Rumah Sakit Jiwa kini terlihat gemukan, namun itu sama sekali tidak mengurangi kadar rasa cintanya.
Tangan perempuan itu ia genggam semakin erat, walaupun perempuan itu masih tidak menggubrisnya. Pria itu pun lalu mengecup punggung tangan perempuan itu dengan lembutnya.
"Kamu pasti sebenarnya merasa letih, bukan karena wajahmu terus menatap langit biru itu? Mengapa kamu tidak bersandar di bahuku saja? Supaya kamu bisa tetap dapat menikmati langit tanpa merasa letih?" Lantas pria itu pun memegang kepala perempuan itu dengan lembut di bahunya setelah tangan yang sedari tadi digenggamnya ia letakkan di pahanya.
Lagi, perempuan itu sama sekali tidak menggubrisnya. Pria itu sama sekali tidak kecewa ketika perempuan di sebelahnya itu hanya menurut dan tidak berbicara atas apa yang pria itu lakukan kepada pasien perempuan itu.
Namun, pria itu merasa sangat bahagia akan keadaanya saat ini. Perempuan yang seakan-akan sedang tidak bernyawa itu kini tengah berada di tempat yang sangat aman, dan tidak mungkin lagi dapat menyakiti perempuan kesayangannya itu.
Pria itu kembali menggenggam tangan perempuan yang berada di pahanya itu semakin erat. Sedangkan saat ini hatinya sedang berbunga-bunga. Kepala pria itu disandarkan ke atas kepala perempuan itu. Mereka berdua menatap langit lagi.
"Kamu masih ingat, sayang? Kita pernah melakukan ini sebelumnya. Saat itu, kamu sangat menikmati pemandangan seperti ini. Bedanya, waktu itu senja. Warna langit yang begitu biru, dihiasi dengan goresan-goresan langit secara kasar berwarna jingga. Mereka muncul di balik awan-awan yang perlahan-lahan mulai tidur. Ketika itu, matahari ingin pulang ke peraduannya, ketika ia perlahan-lahan tertidur berselimut cahaya berwarna jingga itu." Ucap pria itu bernostalgia.
"Lalu. Masih ingatkah dirimu? Ketika senja dengan jingganya kini sudah tertidur di peraduannya, langit malam pun muncul. Kamu saat itu masih bersikeras ingin tetap berada di atap gedung flat kita, karena kamu juga sangat penasaran dengan bagaimana indahnya langit di malam hari, ketika kita melihatnya tidak dari balkon flat. Tempat favoritmu ketika melihat pemandangan kesukaanmu itu."
"Dan apa yang kamu temukan setelah itu? Kamu melihat betapa indahnya langit malam itu. Ketika di bawah sana lampu-lampu kota terus memancarkan cahaya lampunya sehingga terlihat seperti kerlap-kerlip bintang, ketika kita melihat langit, justru kita juga melihat kerlap-kerlip bintang yang tidak kalah indahnya daripada pesona malam yang ditawarkan oleh orang-orang itu."
"Kamu tidak kalah terpukau melihat pemandangan langit malam itu. Ketika para bintang-bintang kecil itu memancarkan cahaya terangnya, di sana juga ada bulan yang membulat sempurna. Bulan purnama yang terang benderang, dikelilingi para bintang itu. Seolah-olah, langit malam itu tengah berpakaian dengan pakaian hitamnya yang elegan, dibiaskan perhiasan bulan purnama, dan manik-manik bercahaya di gaun yang dipakainya."
Perempuan itu yang mendengarkan dongeng puitis dari pria yang sedari tadi menggenggam tangannya hanya diam, tidak merespon sama sekali. Sedangkan pria yang sedari tadi berbicara lembut itu menatap langit, dengan tatapan yang sendu.
"Rani. Apakah kamu penasaran mengapa siang dan malam itu muncul bergantian? Mengapa mereka tidak dapat muncul beriringan? Mengapa matahari dan bulan tidak muncul bersamaan? Padahal mereka berdua adalah pasangan yang serasi. Mereka sangat anggun dan sangat indah. Mereka adalah para penguasa langit."
"Sang raja matahari dengan para awan-awan sebagai pengawalnya. Dengan pakaian biru cerah sebagai pakaian berperangnya. Dia terlihat sangat tegas dan penuh berwibawa, bukan? Sedangkan ratu bulan, dia bersama para bintang sebagai dayangnya. Dia begitu terlihat anggun dan lembut dengan pakaian gaun hitamnya. Dapatkah kamu membayangkan itu?"
Pria itu terus membayangkan seandainya dirinya adalah raja matahari itu, dan perempuan di sebelahnya adalah ratu bulan yang ia dongengkan itu. Lantas hati pria itu kembali sakit karena merasa tidak pantas berandai-andai seperti itu. Hati pria itu pun sakit. Namun pria itu terkekeh pelan.
"Seandainya kamu sadar saat ini, kamu pasti sudah memekik dan lalu memukulku. Kamu dengan tegasnya menyatakan secara sains mengapa matahari dan bulan tidak mungkin bisa beriringan."
"Lucu, ya sayang. Aku yang orang-orang anggap paling berpikir sangat logis karena paling jago matematika ini, justru bisa berkhayal dengan imajinasiku yang tidak mungkin ini."
Lalu pria itu pun menegakkan kembali kepala perempuan yang disenderkan kepada bahunya itu. Lalu ia mencium lembut punggung tangan perempuan itu, lalu melepaskannya.
"Cepat sembuh, ya Rani. Aku sangat mencintaimu." Pria yang bernama Rino itu lalu mengecup ujung kepala pasien bernama Rani itu, dan lalu pergi meninggalkan bangku taman itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Guratan Kehidupan S2
Любовные романыBaca Guratan Kehidupan S1 dulu, ya. supaya lebih mengerti alur ceritanya. penyesalan terbesar bagi Dena adalah merebut paksa Rino, dengan berbagai cara, dari pelukan Rani. Walaupun Dena kini sudah berhasil mendapatkan Rino, bahkan seluruh semesta me...