"Jadi, apa rencana kamu selama Rani dirawat?" Tanya Dika setelah Rino sampai di flatnya.
Saat ini, flat tengah sepi. Di sana hanya tinggal Dika yang memang sedang jadwal kosong kuliah, dan Rino yang baru saja pulang dari rumah sakit jiwa.
Saat satu tahun itu, Dika, Dea, Rio, dan Dewi memang memutuskan untuk hidup normal. Mereka berempat mengambil kuliah di salah satu universitas dengan mengambil jurusan MIPA, mengingat mereka semua justru adalah lulusan IPA.
"Kayaknya, aku bakalan ngabisin waktu aku buat kuliah, deh. Aku mau cari beasiswa saja." Jawab Rino sambil berandai-andai.
Dika menatap pria dihadapannya yang kini sedang duduk sambil mendongakkan kepalanya ke arah langit. Ia ikutan melihat apa yang Rino lihat, dan di sana ia hanya melihat sebuah tembok putih tanpa corak apapun dengan hiasan bola lampu yang akan menyala ketika malam hari.
"Kamu lihat apa?" Tanya Dika.
"Tidak ada." Lalu Rino pun menghadapkan kembali wajahnya ke arah Dika. "Kamu beneran sedang menganggur, ya?" Tanya Rino.
"Sebentar lagi aku akan berangkat kuliah. Kenapa?"
"Di kampusmu sekarang, ada program beasiswa, gak?"
Dika pun berpikir keras, namun ia segera menggelengkan kepalanya. Sebagai mahasiswa semester tiga, yang ia pikirkan saat ini hanya bagaimana caranya mengejar SKS.
"Aku gak mikirin atau cari tahu soal itu, Rino. Kamu tahu, kan gegara aku ikut-ikutan sama ketiga orang itu, aku jadi berasa salah jurusan." Jawab Dika yang sambil terkekeh.
Rino pun tersenyum kecil mendengar jawaban Dika. Ia tahu kemampuan orang di depannya itu. Makanya mungkin di jurusan ini ia akan agak tertinggal. Bahkan kalau dia sudah berusaha terlalu keras untuk mengejar ketertinggalannya.
Dika pun melihat jam yang tertempel di dinding. Lantas ia segera buru-buru ke luar flat.
"Aku pergi dulu, ya Rino. Soal beasiswa itu, kamu cari tahu di website resmi kampus saja." Lantas Dika beranjak dari tempatnya.
"Oh, iya Rino. Doakan aku, ya semoga aku bisa lulus dari fakultas ini dengan lancar tanpa kekurangan suatu apapun." Ucap Dika lagi ketika ia sudah membuka pintu masuk flat. Ia pun menoleh Rino yang masih duduk di salah satu kursi di meja makan.
BLAM
Pintu pun tertutup. Dika sudah pergi meninggalkan flat itu dengan Rino yang dibiarkan sendirian di dalamnya.
Mendengar cerita Dika barusan, Rino pun kembali terkekeh pelan. Ternyata masalah salah jurusan bagi seorang Dika itu adalah masalah yang cukup berat untuk masa depannya. Apalagi ia nekat masuk MIPA karena Dea, Dewi, dan Rio?
"Seharusnya orang seperti kamu itu masuk jurusan komunikasi atau marketing, Dika." Ucap Rino bermonolog ria. Ia seperti menganggap kalau Dika masih duduk di hadapannya.
"Tapi, gapapa, Dika. Setidaknya untuk empat tahun ini kamu seharusnya tetap berusaha. Walaupun dengan hasil yang tidak maksimal." Rino pun akhirnya beranjak dari tempatnya duduk sebelumnya.
Pria yang sedari tadi duduk di tempatnya bersama Dika itu beranjak. Ia lalu berpindah tempat duduk ke sebuah sofa tempatnya biasa memandangi langit bersama Rani.
Sesaat ia melihat pemandangan langit biru yang terpampang jelas dari kaca balkon flatnya. Lagi-lagi, melihat pemandangan itu ia jadi teringat akan Rani. Rino pun tersenyum manis, membayangkan kalau dirinya dengan sangat bahagia akan tinggal berdua saja dengan perempuan pujaannya itu. Di sebuah tempat yang sederhana, namun cukup membahagiakan karena menjalani kehidupan yang diinginkannya masing-masing.
"Cepat sembuh, ya Rani. Aku menunggumu." Ucap Rino dalam hati. Ia membiarkan langit beserta awan-awan itu mendengarkan doanya kepada perempuan pujaannya itu.
Langit beserta awan-awan itu terlihat sama saja. Mereka tidak bergerak. Namun, lagi-lagi Rino membayangkan dongeng yang baru saja dibuatnya pagi hari itu ketika ia berkencan dengan Rani.
Setidaknya kejadian pagi itu ia anggap sebagai kencan, walaupun orang-orang berkata itu adalah kunjungan pasien. Di rumah sakit jiwa, pula.
Setelah puas melamun, Rino mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia lalu membuka website kampus tempat Dea, Dewi, Rio, dan Dika berkuliah. Untuk mencari tahu mengenai program beasiswa.
Setelah beberapa saat membuka-buka laman dari website resmi itu, Rino pun membelalakkan matanya. Ternyata kampus tempat keempat temannya itu saat ini tengah membuka program beasiswa. Rino pun iseng untuk mencoba mendaftarkan diri untuk menjadi calon penerima beasiswa itu. Ia mengambil jurusan MIPA, dan mengisi formulir pendaftaran yang tertera di sana.
Tidak lupa, Rino juga mengirimkan lampiran berkas-berkas yang diperlukan selama proses pendaftaran itu.
---
"Rino! Apa yang telah kamu lakukan?" Tanya Dea. Setelah mereka semua kini berada di flat.
Malam hari itu menjelang, Dika, Dea, Dewi, dan Rio kini tengah menginterogasi Rino yang kini tengah berada di tengah-tengah mereka.
"Aku? Aku melakukan apa?" Tanya Rino dengan wajah polosnya. Dea pun mendengus kesal, sedangkan Rio menepuk-nepuk bahu Dea.
"Sabar Dea." Ucap Rio pelan.
"Memangnya apa yang telah aku lakukan? Aku tidak melakukan hal-hal yang aneh, kok." Ucap Rino dengan polosnya.
"Kamu yakin, gak melakukan apapun Rino? Bahkan seminggu yang lalu itu?" Tanya Dika.
"Kamu waktu itu bersungguh-sungguh dengan perkataan mu waktu itu? Sebelum aku berangkat ke kampus?" Lanjut Dika yang masih penasaran.
Mendengar pertanyaan Dika, Rino pun langsung teringat mengenai apa yang ia lakukan setelah berbicara dengan Dika.
"Aku ingat. Soal beasiswa itu, bukan? Iya, Dika. Aku iseng daftar beasiswa itu. Memangnya kenapa?" Tanya Rino.
"Sudah kuduga." Ucap Dewi dengan senyum kecilnya.
"Kamu tahu, Rino. Kamu sudah keterima mendapatkan beasiswa penuh di kampus kami. Apalagi kamu ambil jurusan MIPA." Jawab Rio.
Rino mengangguk mengerti. Ia merasa beasiswa seperti itu seharusnya sudah menjadi hal biasa baginya. Apalagi dulu, terakhir saat SMA dia juga keterima beasiswa.
"Kukira apa. Aku sudah tahu itu, kok. Dan itu, kan bukan hal yang menakjubkan bagi kalian. Karena seperti kalian tahu, aku saja SMA karena beasiswa penuh." Ucap Rino dengan santainya.
"Aih, memang beda, lah sama orang yang sudah keterlaluan pintarnya." Gerutu Dea.
"Padahal kamu sudah tidak lagi menjadi mutan, lho. Tapi kenapa kamu masih bisa sepintar itu?" Tanya Rio.
Rino, pun memandangi keempat temannya itu yang terus memandangnya dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Asalkan kalian tahu, aku waktu ikut OSN dari SMP juga gak pernah pakai kekuatan mutanku, kok. Bahkan untuk belajar biasa saja, aku juga sama sekali tidak menggunakan kekuatan mutan." Ucap Rino dengan santainya.
"Makanya kalian bingung, kan kenapa saat masuk ke dunia belenggu waktu itu, aku masih berwujud manusia, justru pada saat-saat akhir aku menunjukkan sosok mutanku sesungguhnya." Lanjut Rino.
"Jadi selama ini kamu benar-benar belajar, ya? Dengan kemampuan manusiamu itu?" Tanya Dika. Rino pun menganggukkan kepalanya.
"Iya. Aku selama ini menggunakan kemampuan otak manusiaku untuk belajar. Jadi, Dika. Kamu jangan patah semangat, ya karena saat ini kamu memang sedang salah jurusan. Pasti bisa, kok." Ucap Rino sambil tersenyum kecil ke arah Dika. Dika menjadi salah tingkah karena motivasi dari Rino itu.
"Dan kamu tahu, apa yang membuat jurusan geger gara-gara informasi beasiswa kamu itu, Rino? Mereka bilang kalau sang legenda OSN matematika ternyata berminat dengan program beasiswa di kampus kami." Ucap Dea yang ditutup oleh tawa kerasnya. Rino pun tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/342876422-288-k307784.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Guratan Kehidupan S2
RomanceBaca Guratan Kehidupan S1 dulu, ya. supaya lebih mengerti alur ceritanya. penyesalan terbesar bagi Dena adalah merebut paksa Rino, dengan berbagai cara, dari pelukan Rani. Walaupun Dena kini sudah berhasil mendapatkan Rino, bahkan seluruh semesta me...