Penghormatan Terakhir

2 0 0
                                    

Usai mendandani Erika dan Putri dengan gaun hitam yang begitu indah, Nina kembali lagi menuju kamarnya.

Di sana Don yang sudah berpakaian serba hitam masih terduduk lesu di pinggir tempat tidur. Lantas Nina pun pelan-pelan menghampiri Don dan membantunya untuk bangkit berdiri.

"Kamu bisa menghadapi ini, Don. Semua hal ada yang datang dan ada juga yang pergi. Kepergian bapak memang sudah waktunya. Jadi terima saja, buatlah langkah bapak menjadi lebih tenang dan ringan berkat keikhlasan mu untuk membiarkannya pergi ke tempat istirahatnya." Ucap Nina sambil merapikan kerah kemeja Don.

Sedari tadi Nina berbicara, Don seolah-olah terhipnotis oleh gerakan bibir Nina yang begitu menenangkan. Bahkan setiap kata-kata yang keluar dengan lembutnya dari bibir Nina itu semakin membuat Don terhipnotis. Ia ingin sekali kali ini mengecup dan melumat bibir istrinya itu. Namun sayangnya ia rasanya agak enggan melakukan itu karena di pondok mereka sudah memiliki tiga orang anak kecil dan tidak pantas melakukan hal tersebut di depan mereka. Walaupun secara tidak sengaja.

"Sudah, Don. Sudah rapi." Ucap Nina sambil tersenyum bangga melihat hasil karyanya.

"Sayang." Ucap Don pelan.

"Ya?" Nina mendongakkan kepalanya.

Tiba-tiba Don langsung mendekap sangat erat tubuh istrinya itu. Lalu Nina pun membalas pelukan Don.

"Yang sabar, ya Don." Ucap Nina sambil mengelusi punggung Don.

"Iya, sayang. Terimakasih." Ucap Don lirih.

"Tante." Seruan Erika yang berasal dari pintu kamar Nina dan Don langsung membuyarkan adegan romantis itu.

Don dan Nina langsung melepaskan pelukannya itu. Lalu selagi Don menghapus air matanya, Nina lalu bergerak melangkah ke arah Erika.

"Iya Erika? Ada apa?" Tanya Nina sambil berjalan terburu-buru menghampiri Erika.

Erika yang tadinya melamun sesaat melihat adegan mesra antara Om Don dan Tante Nina itu langsung buyar.

"Tante. Aku sama Putri mau minta dibuatkan mahkota bunga yang sama kayak waktu itu. Kira-kira cocok, gak ya Tante sama gaun yang kami pakai?" Tanya Erika sambil memainkan gaunnya.

"Cocok, kok sayang. Yuk Tante petikkan bunga Daisy nya dulu, supaya kita bisa buat mahkota bunga lagi." Lantas Nina pun menggenggam tangan kecil Erika, dan kedua perempuan itu pergi meninggalkan Don di kamar itu sendirian.

Selagi Nina tengah membuat dan memasangkan mahkota bunga itu untuk Erika dan Putri. Kedua gadis kecil itu memerhatikan gerak tangan Nina yang tengah membuat kerajinan tangan yang sangat indah itu.

Sambil matanya tetap memerhatikan kegiatan Nina, Erika melamun lagi. Bayang-bayang di pikirannya kembali memutar adegan betapa mesranya ketika Om dan Tante nya itu saling berpelukan. Selintas, rasa iri menghinggapi hati Erika. Erika rasanya juga ingin memiliki sepasang ayah dan ibu yang saling mencintai dan mendukung. Seperti pasangan Don dan Nina.

Namun lamunan Erika kembali buyar ketika sudah saatnya Nina memasangkan mahkota bunga itu di kepala Erika.

---

Suasana Mansion yang biasanya tidak banyak orang dan dipenuhi dengan suasana yang dewasa dan gelap itu berubah.

Biasanya di ruangan yang dimiliki bos mafia itu, tidak begitu banyak orang-orang yang berada di sana.

Biasanya para anggota mafia itu selalu bekerja di bagiannya masing-masing. Entah di lapangan seperti yang dulu selalu Jordy lakukan, ataupun para mata-mata yang sangat-sangat jarang berada di mansion. Atau bahkan mereka yang bertugas di dalam ruangan penjara bawah tanah.

Namun, semua itu justru berbeda dengan hari ini. Ruangan tengah mansion yang begitu luas itu kini dipenuhi oleh mereka yang menggunakan pakaian serba hitam.

Bisa dibilang, mereka yang sama sekali bukan dari kalangan mafia atau yang berhubungan dengan anggota mafia itu hanya Dena dan Rino. Juga Putri dan Erika.

Sesungguhnya, Erika dan Putri yang masih begitu kecil belum mengetahui apa yang telah terjadi. Hanya kedua gadis kecil itu yang tetap saja riang kesana kemari mengelilingi mansion itu sekedar untuk menjelajahi tiap sudut di rumah besar tersebut.

"Erika, Putri." Panggil Don yang kini tengah berdiri di depan kedua gadis kecil itu.

"Iya om?" Tanya Erika.

"Iya, pa?" Tanya putri juga.

Don memberikan masing-masing setangkai mawar putih kepada dua gadis kecil itu. Walaupun sangat senang menerima bunga indah itu, namun kedua gadis kecil itu bertanya-tanya.

"Papa. Ini dapat bunga darimana?" Tanya Putri.

"Ini sudah disediakan. Tadi papa juga bantu beli waktu kalian masih asik mengelilingi mansion ini." Ucap Don sambil tersenyum manis kepada mereka berdua.

"Sudah, kalian berdua duduk yang manis, ya dekat om, dekat papa. Upacara penghormatan terakhirnya akan dimulai." Ucap Don sambil membawa kedua gadis kecil itu ke bangku yang telah disediakan.

"Nanti, mawar putihnya dikasih ke kakek yang ada di peti itu, ya." Ucap Don sambil menunjukkan peti mati yang berisi jasad pria yang selama ini dipanggil bapak itu.

"Wajah kakek seram, tidak om?" Tanya Erika dengan polosnya.

"Tidak Erika. Wajah kakek tidak seram sama sekali. Dia meninggal dalam keadaan yang damai dan bahagia. Wajah kakek juga sama sekali tidak rusak. Jadi kalian tidak usah takut, ya. Anggap saja kakek saat ini masih hidup, jadi sembari menyerahkan mawar itu, kalian bebas menyapa kakek." Ucap Don sambil tersenyum kecil.

Mengerti dengan instruksi Don, Putri dan Erika untuk beberapa saat duduk dengan tenang mengikuti upacara penghormatan terakhir itu.

Saat ketika giliran Don dan kedua gadis kecil itu memberikan sapaan dan penghormatan terakhir, Erika berjalan paling dulu untuk memberikan mawar itu dilanjut dengan putri, dan dilanjutkan dengan Don.

Erika memerhatikan wajah kakek yang dulu pernah menolongnya itu tengah tertidur dengan sangat tenang. Erika sama sekali tidak takut melihat mendingan kakeknya itu karena pria renta itu tertidur sambil tersenyum.

"Ini, kek. Ini buat kakek, ya." Ucap Erika dengan polosnya meletakkan setangkai mawar putih itu ke dalam peti mati itu.

Setelah Erika berlalu, Putri juga melakukan hal yang sama. Putri melihat dulu wajah kakek yang memberikan kesan pertama begitu ramah padanya. setelah puas, ia lalu meletakkan setangkai mawar putih itu ke dalam peti mati itu.

Dan kini giliran Don. Don terpaku sesaat melihat seorang bos mafia yang kini tengah beristirahat untuk selama-lamanya itu. Mengingat sepak terjang kehidupan bos mafia itu yang banyak dihiasi oleh ketidakadilan sehingga melahirkan sosok yang begitu tegas dan kejam, Don sebenarnya merasa sangat lega dan nyaman. Ia bersyukur karena setidaknya di akhir hayatnya pria itu kini merasakan betapa bahagianya menjadi seorang kakek. Karena ia telah memiliki cucu walaupun tidak bertemu secara langsung selama hidup, telah menyaksikan sendiri kedua anaknya yang telah menikah.

Dan yang paling membuat Don lega, akhirnya bos mafia itu mau memaafkan Don yang masa lalunya yang begitu egois dan sombong itu.

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang