Impian yang Pupus

3 0 0
                                    

"Ini kamar flat kamu. Dulu waktu kamu masih di flat ini, kamar kamu yang ini." Ucap Rino sambil memasukkan anak kunci ke lubang pintu kamar dan membukakannya untuk Rani.

Rani yang memang sudah perlahan-lahan mulai ingat akan memorinya hanya bisa canggung ketika ia disuruh mengingat hal ini lagi.

Kamar di flat yang kosong itu kini hanya tersedia satu unit tempat tidur, lemari, meja belajar, pendingin ruangan, selain itu juga tersedia kamar mandi dengan peralatan yang lengkap. Rani pun hanya menatap seluruh interior di kamar itu seolah-olah dirinya seperti pertama kali masuk ke dalam kamar itu.

Sedangkan di belakang Rani, Rino yang sedari tadi tidak mampu menghentikan senyum senangnya menggeret koper Rani untuk masuk ke dalam kamar itu. Ia pun meletakkan koper itu di salah satu sisi di kamar tersebut.

Rani masih terdiam menatapi seluruh interior kamar itu. Terlebih ia melihat ke arah jendela kecil yang kini tengah menampilkan langit biru tanpa awan di sana.

Rino sebenarnya ingin sekali memeluk perempuan yang sedari tadi membelakanginya. Namun, mengingat perempuan itu masih berstatus milik Lion, Rino pun tersenyum kecil, dan mengurungkan niat itu.

Menyadari sedari tadi pria yang tadi menjemputnya dari rumah sakit itu tidak bersuara semenjak berada di kamar ini, Rani pun menoleh ke belakang, dan ia melihat Rino tengah tertunduk. Dengan rasa canggung dan segan, sebenarnya sedari tadi ia ingin meminta pria itu mengantarkannya ke suatu tempat.

"Ng... Rino..." Rino yang mendengar namanya disebut Rani mengangkat wajahnya.

"Ng, ya?" Tanya Rino setelah melihat wajah Rani yang penuh keragu-raguan.

"Kamu hari ini gak kerja? Ku lihat tadi Dika, Dea, Rio, dan Dewi sudah pada berangkat ke luar."

"Aku hari ini lagi libur, Rani. Aku hari ini lagi gak ada kelas." Rino menjawab sambil tersenyum ramah.

"Jadi sekarang kamu ngajar?" Pertanyaan Rani dijawab anggukan kecil dari Rino.

"Ya, sudah. Kamu memang dari dulu sudah ada bakat mengajar, Rino. Pasti anak didikmu itu mudah menangkap pelajaran yang kamu ajarkan." Rino yang mendapatkan pujian dari Rani kembali tersenyum kecil.

Walaupun begitu, sungguh. Rino sebenarnya sedari tadi menahan diri untuk memeluk Rani. Sedangkan dirinya yang baru pertama kalinya mendapatkan pujian dari perempuan terkasihnya itu, entah mengapa rasanya menjadi sakit.

Karena, selama mereka berstatus sebagai pacaran, justru Rani sangat tidak menyukai prestasi atau pencapaian yang pernah Rino raih. Sedangkan ia masih ingat bagaimana dengan lancarnya dan antusiasnya Rani pernah memuji prestasi lomba debat Dika saat itu.

"Dan pasti kamu selama sepuluh tahun ini terus mengukir prestasi lagi, ya? Aku dengar dari Suster yang pernah merawatku, katanya kamu selama dua tahun itu terus lomba di Komat, ya? Tingkat nasional dan internasional. Trus kamu juga ada saingan dengan salah satu mahasiswi di sana. Aku penasaran, gimana ceritanya? Dan apakah kamu juga menjalin asmara dengan mahasiswi sainganmu itu?" Rani semakin antusias menanyakan prestasi Rino. Hal itu membuat hati pria itu semakin sakit.

Walaupun kini hatinya terasa tertusuk-tusuk dengan sesuatu yang sangat tajam, ditambahkan dengan rasa sesak di dadanya, Rino tidak mampu mengubah sudut bibirnya, mengekspresikan secara langsung kekecewaannya kepada sikap Rani yang sekarang.

Karena seingat Rino, Rani dulunya sewaktu menjalin asmara dengan dirinya, ia mengingat dengan sangat jelas betapa tidak sukanya Rani akan segala prestasinya. Tapi kini, perempuan itu seolah-olah begitu antusias dengan segala pencapaiannya.

"Kenapa kamu berpikir kalau aku jadian dengan mahasiswi sainganku waktu itu?"

"Mendengarkan cerita itu, aku merasa kalau kalian sangat cocok, Rino. Kalian berdua sama-sama sangat pintar. Apakah kamu tidak mau mempunyai pasangan yang pintar?"

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang