Hari ini adalah hari ulang tahun Rani. Tapi Rani tidak sadar kalau hari ini hari ulangtahunnya.
Semenjak Dara sudah tidak lagi mengunjunginya, perempuan yang sampai saat ini masih menganggur itu tidak tahu mau melakukan apa.
"Rino. Kamu lagi libur, ya?" Tanya Rani ketika Rino tiba-tiba duduk di sampingnya, saat perempuan berbadan gempal itu tengah melamun duduk di sofa yang menghadap ke jendela balkon.
Suasana pemandangan di balkon itu adalah langit biru yang begitu cerah. Saat ini, Rani benar-benar begitu bosan, namun ia masih sangat senang melakukan hobinya.
"Kamu tahu, tidak ada apa hari ini?" Tanya Rino yang kini tengah tersenyum senang. Sambil dirinya juga memandangi pemandangan yang Rani lihat itu.
"Iya, aku tahu. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tapi itu tidak penting. Toh gak ada yang spesial pada hari ini. Dan juga, aku tidak akan terima kado apapun, bukan?" Jawab Rani datar.
"Aku rindu Dara." Rani pun mengusap-usap kasar wajahnya.
"Kamu tahu? Dara dan aku sudah lama mempersiapkan kado ulang tahun untukmu." Rino pun tersenyum malu. Saat Rani menengok ke arahnya.
"Ini, hadiah dari aku dan Dara." Lantas Rino menyerahkan sebuah amplop yang sedari tadi disembunyikannya.
Mata Rani terbelalak melihat amplop yang diberikan Rino padanya. Di amplop tersebut terdapat gambar lambang lembaga antariksa, dan juga alamatnya.
Rani merasa sangat tidak mungkin bisa bergaul dengan lembaga impiannya itu. Dan kini amplop itu tengah berada di tangannya. Dengan penuh tanda tanya, Rani memandangi Rino lagi.
"Maksud kalian apa?"
"Cukup buka saja. Kuharap kamu senang dengan hadiah dari kami."
Rani pun membuka amplop itu dan membaca sebuah surat yang tertera di dalamnya. Di surat tersebut ternyata selama ini dirinya sudah lolos tes seleksi sebagai peneliti di lembaga tersebut. Dan dia sudah mulai bertugas sejak sehari setelah hari ulangtahunnya.
Namun, alih-alih Rani tersenyum bahagia, atau terharu. Mata Rani dipenuhi kekecewaan dan matanya terlihat begitu memerah. Dadanya terasa sesak karena ia merasa sangat dipermalukan dan dipermainkan.
Rino melihat ekspresi wajah Rani yang benar-benar di luar ekspektasinya. Rino sama sekali tidak mengerti mengapa perempuan di depannya sama sekali tidak bahagia melihat apa yang telah dicapainya.
"Maksud kalian apa? Rino, Dara?" Mata Rani menatap tajam ke arah Rino. Tatapannya dipenuhi oleh rasa amarah. Rino benar-benar tidak mengerti mengapa perempuan tersayangnya itu sama sekali tidak senang dengan hadiah pemberiannya ini.
"Kenapa, Rani? Kenapa kamu justru kecewa? Padahal Dara bilang ini adalah hal yang paling kamu impikan."
Rani yang mendengar pernyataan dari pria di sebelahnya itu semakin membuatnya kecewa. Bahkan satu tahun lebih Rino telah menjalin hubungan asmara dengannya, tapi pria itu sama sekali tidak tahu apa yang diimpikannya.
Tatapan Rani yang sedari tadi dipenuhi rasa amarah, kini berubah menjadi penuh kekecewaan.
"Apa katamu? Kamu tahu impianku justru dari perkataan orang lain? Lalu apa saja yang kamu tahu dari aku dari masa-masa kita pacaran dulu? Di satu tahun itu?"
"Aku..." Rino semakin bingung bagaimana menghadapi Rani. Masalahnya baru kali ini Rani terlihat begitu kecewa kepadanya.
Dengan penuh amarah, Rani lalu melempar surat itu ke wajah Rino. Diperlakukan seperti itu, Rino sebenarnya merasa marah karena hadiah itu tidak diterima oleh Rani.
"Jadi selama ini, Dara dan kamu bersekongkol? Kalian sengaja menertawakan nasibku yang sudah tidak mempunyai keinginan dan impian ini dengan cara mewujudkan impianku yang sudah lama kulupakan?" Intonasi suara Rani bergetar. Air mata yang sedari tadi sudah susah payah ditampungnya kini akhirnya meleleh begitu saja.
Melihat ekspresi wajah Rani. Melihat air mata Rani yang kini sudah membasahi wajahnya, Rino tidak lagi emosi. Namun kini dirinya sudah dipenuhi kekecewaan.
Rino merasa sangat kecewa karena ternyata impian Rani itu sudah tidak diinginkannya lagi.
"Setidaknya, hargailah usaha Dara, Rani. Dia sudah begitu bersusah payah membantumu mengejar impianmu."
Rani tertawa mendengar pernyataan Rino. Awalnya tawanya pelan, namun lambat laun menggelegar.
"Menghargai usaha Dara. Lantas apa yang telah kamu lakukan selama ini, Rino? Dengar. Semenjak kamu menjalin hubungan asmara dengan Dena, kamu bahkan sudah lupa akan diriku. Akan apa yang kumau, dengan apa yang dulu selalu kuperjuangkan habis-habisan demi meraih impianku. Kamu sekarang bisa bilang kalau aku ini hebat karena telah lolos ujian seleksi untuk menjadi peneliti di lembaga antariksa itu. Tapi kamu harusnya ingat betul! Betapa sombongnya dirimu saat aku gagal mendapatkanmu kembali dan justru dikeluarkan dari sekolah sehingga semua impianku selama ini menjadi hancur tidak bersisa!."
"Jangan bawa-bawa Dena, Rani. Dena sudah berubah."
"Jangan bawa-bawa Dena? Apa hubungannya Dena berubah dengan impianku yang sudah hancur karena perbuatan kalian, hah!? Seharusnya kalian semua itu sadar dengan apa yang telah kalian lakukan dulu sehingga impianku bisa hancur! Bahkan aku pun tidak berhasil merasakan masa-masa kuliah yang seharusnya menyenangkan itu karena kalian semua!"
"Apa maksudmu, Rani? Aku sama sekali tidak mengerti? Kamu dikeluarkan dari sekolah, bahkan sampai tidak bisa melanjutkan kuliah, dan kamu berpikir masa depanmu hancur karena tidak mampu melewati proses pendidikan itu?" Rino kini sudah mulai kecewa dengan pemikiran Rani.
Masalahnya Rino sudah sangat tahu persis, apa yang telah Dara ajarkan ke Rani itu semuanya sudah setara dengan pendidikan S3 Astronomi. Bahkan untuk bisa diterima sebagai peneliti di lembaga antariksa itu, diperlukan kemampuan setara S3. Dan Rani sudah berhasil melewati dan lolos dari berbagai macam tes itu.
"Apakah gelar sarjana itu begitu penting bagimu, Rani? Dan apakah usiamu itu menjadi penghambat untuk mengejar impianmu itu?" Tanya Rino lirih.
"Cukup, Rino. Cukup. Bahkan dunia belenggu itu hancur karena mu. Aku sudah sangat kecewa padamu. Bahkan kamu yang sudah seringkali bilang ke orang-orang kalau kamu sudah memberikan segalanya untukku, padahal kamu sama sekali tidak tahu apa yang aku impikan."
"Kenapa lagi, Rani? Kenapa kini kamu bawa-bawa dunia belenggu? Dunia belenggu itu sudah tidak ada! Tidak ada seorangpun lagi yang mampu menyakiti dirimu."
Emosi Rani semakin lama semakin menjadi. Rino di matanya seperti seorang pria yang terus membela apa yang telah ia lakukan. Seolah-olah apa yang telah Rani lakukan, apa yang Rani impikan, itu semua adalah suatu kesalahan. Rani benar-benar sangat kecewa dengan Rino.
"Tidak, Rino. Kamu menghancurkan dunia belenggu, itu artinya kamu terlah menghancurkan satu-satunya tempat yang berhasil membuatku bahagia. Kamu bahkan sama sekali tidak tahu kalau menjadi kurban dunia belenggu itu adalah satu-satunya harapanku supaya aku bisa tetap bahagia. Jadi, kamu sebenarnya sudah sangat berhasil menghancurkan kebahagiaanku. Selamat, Rino. Kamu memang benar-benar hebat."
Rani pun menghapus air matanya lagi. Ia lalu pergi meninggalkan sofa itu, meninggalkan Rino sendirian. Di sofa itu, di flat itu. Lagi-lagi Rani yang sudah membawa koper besar meninggalkan flat itu.
---
Sambil membawa koper besarnya, Rani berdiri di depan pintu masuk salah satu unit apartemen.
Satu-satunya harapannya supaya bisa berbahagia hidup di dunia nyata adalah seseorang yang kini tinggal di dalam unit apartemen itu.
"Tok tok tok"
"Lion, ini aku." Rani dengan suaranya yang bergetar terus mengetuk pintu dan memanggil nama suaminya itu.
Tidak berapa lama kemudian, sosok pria bernama Lion itu membukakan pintunya. Ia terkejut melihat istrinya itu dengan wajahnya yang dipenuhi airmata, dengan matanya yang sembab, juga sebuah koper besar berada disampingnya, menatap penuh harap padanya.
"Aku tidak kuat, Lion." Ucap Rani yang langsung memeluk tubuh pria itu. "aku ingin selamanya bersamamu."
![](https://img.wattpad.com/cover/342876422-288-k307784.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Guratan Kehidupan S2
RomanceBaca Guratan Kehidupan S1 dulu, ya. supaya lebih mengerti alur ceritanya. penyesalan terbesar bagi Dena adalah merebut paksa Rino, dengan berbagai cara, dari pelukan Rani. Walaupun Dena kini sudah berhasil mendapatkan Rino, bahkan seluruh semesta me...