Nostalgia

1 0 0
                                    

"Don. Sudah dulu, ya. Aku harus beres-beres rumah." Nina minta ijin untuk memutuskan sambungannya. Jujur saja telinganya sebenarnya sudah terasa agak panas karena sudah bertelepon dengan suaminya itu selama sepuluh menit.

"Aku tidak mau, sayang. Aku masih rindu suara kamu. Gimana kalau kita seharian ini telponan?" Tanya Don yang masih senyum-senyum sendiri karena merasa seperti sedang kasmaran.

"Don... Kupingku panas." Ucap Nina memelas.

"Pakai louspeaker saja, sayang. Di sana ada putra dan putri juga?" Tanya Don.

"Mereka masih di sekolah." Jawab Nina.

"Sayang. Kalau kita video call saja bagaimana? Aku benar-benar ingin tahu apa yang kamu lakukan saat ini." Ucap Don sambil tersenyum manis.

Dan tidak lama Don mengubah sambungan itu menjadi video call. Nina menerimanya dan perempuan itu terkejut melihat dimana suaminya itu berada.

"Don. Kamu gapapa, kan? Kok bisa dirawat? Aku ke sana, ya?" Ucap Nina panik. Sedangkan Don yang melihat wajah istri yang sangat dirindukan itu sedang kuatir, Don justru tersenyum senang.

"Sayang. Aku gapapa. Cuman luka kecil. Kata dokter seminggu lagi aku pulang dari rumah sakit, kok. Tapi aku masih ada urusan di kota. Jadi mungkin lebih dari seminggu lagi aku pulang ke desa." Jawab Don sambil menyunggingkan senyumnya.

"Oh, iya. Kamu masih ingat ruangan ini? Ruangan tempatku dirawat saat ini?" Tanya Don, Nina hanya menggelengkan kepalanya. Wajah pria itu yang tadinya tersenyum sumringah langsung pura-pura cemberut.

"Kok cemberut, Don? Aku sama sekali tidak ingat, lho."

Lantas Don memutarkan layar kamera handphonenya, layar handphonenya itu menjelajah tiap keliling di ruangan itu.

"Gimana? Kamu sudah ingat?" Tanya Don lagi. Nina lagi-lagi menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak ingat. Maaf Don."

Don pun menghela nafas sebentar. Padahal di sini ada momen yang baginya sangat berharga. Namun bagaimana bisa istrinya itu melupakan momen itu.

"Sayang. Apakah kamu masih ingat kalau kamu pernah kecelakaan karena penyakit kejiwaanmu waktu itu?"

"Don. Jangan diingat lagi. Aku malu pernah menjadi seorang pengidap ODGJ."

"Bukan sayang. Itu tidak penting. Yang penting sekarang kamu sudah benar-benar sembuh dan sehat. Sekarang kamu sudah benar-benar bahagia." Ucap Don sambil tersenyum manis. Pria itu melihat wajah Nina bersemu merah. "Tapi di sini. Di ruangan ini tempat kamu pernah dirawat karena insiden kecelakaan itu. Kamu pernah mengalami masa kritis selama seminggu di sini. Dan setelah itu..."

Ucapan Don terdiam, ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya. Karena benar-benar momen itu sangat berharga baginya.

Don memandangi terus wajah Nina yang masih kebingungan. Don melamun sampai suara istrinya itu membuyarkan lamunannya.

"Setelah itu apa?"

"Setelah itu kamu tersadar. Setelah satu Minggu kamu berada di masa kritis itu. Saat itu, aku sudah sangat menyerah dan memutuskan untuk meninggalkanmu ketika kamu telah sadar nanti. Karena aku saat itu sadar, semua kesialan dan penderitaan yang kamu alami disebabkan oleh hubungan kita." Wajah Don memerah. Matanya mulai memerah. Namun pria itu masih tersenyum sayang melihat Nina.

"Don. Sudah jangan dilanjutkan." Nina merasa tidak enak karena tadi sempat bilang kalau ia tidak ingat momen itu. Walaupun kenyataannya memang ia sama sekali tidak ingat.

"Tidak sayang. Karena ini bagiku sangat berharga, aku ingin kamu kembali mengingatnya." Don lalu menghapus air matanya. " Namun ketika kamu telah sadar, keajaiban itu terjadi. Kamu yang tadinya sudah beberapa bulan tidak mengingatku, di  pagi buta itu justru kamu benar-benar sembuh sepenuhnya dari penyakit kejiwaanmu itu, dan kamu mengingat diriku. Entah apa yang terjadi di bawah alam sadarmu saat sedang dalam masa kritis itu, namun ketika kamu tersadar, kamu justru menginginkan diriku supaya tidak pergi darimu." Lanjut Don.

"Dan saat itu. Aku melamar dirimu. Karena aku juga tidak mau kehilangan dirimu." Ucap Don setelah beberapa saat.

Mendengar itu, Nina tersenyum malu. Wajahnya ditundukkan karena tidak ingin suaminya melihat wajahnya yang tengah memerah itu. Don melihat kelakuan istrinya itu terlihat sangat manis.

"Seharusnya aku berpegang teguh. Jangan terlalu overthinking ketika Don menghilang tanpa kabar selama tiga hari itu. Karena ia menganggapku sebagai hal yang paling berharga di hidupnya. Jadi tidak mungkin Don meninggalkan diriku dan keluarga kecil ini demi seseorang yang jauh lebih sempurna dariku." Gumam Nina dalam hati.

"Sayang?" Ucap Don yang kini air matanya sudah reda. Ia kini mampu berbicara dengan normal lagi.

"Ya?" Tanya Nina yang lamunannya sudah terbuyarkan.

"Kamu masih ingat juga? Waktu aku harus pergi setelah kamu berhasil melewati masa kritis itu karena harus berangkat bekerja? Dari sana aku tahu apa yang kamu suka." Ucap Don yang saat ini tengah melihat latar tempat Nina berdiri itu. Ia melihat bunga Daisy pemberiannya itu kini sudah terlihat semakin rimbun.

"Memangnya aku waktu itu minta apa, Don?" Tanya Nina penasaran. Ia benar-benar masih tidak ingat apa yang terjadi saat itu.

"Saat itu, kamu minta supaya aku membawakan bunga Daisy. Dan saat itu aku baru mengetahui kalau kamu menyukai bunga itu." Ucap Don.

"Dan karena itu juga. Aku meminta para warga untuk menanam dan merawat bunga tersebut di pondok tempat kita tinggal, selama kita belum menempati pondok peninggalan mendiang suamimu itu." Lanjutnya.

Lantas tanpa memutuskan sambungan video call itu, Nina menoleh ke belakang. Tempat bunga Daisy yang dirawatnya itu semakin subur dan berbunga banyak.

"Kamu masih menyukainya, bukan? Makanya bunga-bunga tersebut semakin beranak Pinak karena kamu rawat terus."

Nina pun menolehkan kembali wajahnya ke latar handphonenya itu. Don melihat Nina menorehkan wajah senyum senangnya itu.

"Aku masih menyukainya, Don. Mereka terlihat begitu indah. Terimakasih."

Don tersenyum sayang melihat senyum istrinya itu. Namun senyum sayangnya itu berubah menjadi senyum tengilnya. Dan Nina merasa sepertinya suaminya akan berbuat ulah lagi padanya.

"Don. Aku gak tahu apa yang ada di pikiranmu saat ini. Tapi tolong saat ini jangan buat yang aneh-aneh dulu." Ucap Nina kuatir.

"Lho? Aneh kenapa? Bukannya kamu suka bunga Daisy itu? Kira-kira kalau semakin beranak Pinak dan beraneka warna kamu semakin suka, kan? Biar gak monoton gitu?" Tanya Don dengan senyum tengilnya.

Nina masih belum mengerti maksud suaminya itu. Namun firasatnya mengatakan akan ada suatu hal yang akan menambah pekerjaannya di rumah. Dan itu sudah pasti karena ulah suaminya itu.

"Don? Tolong jangan bikin ulah lagi. Aku sudah capek ngurusin ini itu di rumah. Dan terus kamu mau bikin aku jengkel lagi?" Tanya Nina sinis. Wajahnya sudah terlihat jengah.

"Tenang sayang. Pokoknya aku akan memberikan sebuah kejutan bagimu. Ah, bagaimana kalau anak kita akan bertambah satu lagi? Pokoknya kamu jangan nolak." Don terlihat semakin bersemangat melihat Nina yang sudah terlihat sangat kesal.

"Don. Tolonglah..." Nina mulai pasrah menghadapi kelakuan tengil suaminya itu.

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang