Terungkap

1 0 0
                                    

Kepergian Dara dari kota seolah-olah membuat sosok primadona kampus itu menghilang bak ditelan bumi.

Bagaimana tidak? Dara rupanya telah membuang nomor ponsel lamanya, dan tidak ada satu orang pun di kota yang tahu nomor Dara yang baru. Bahkan, pihak kostan yang dulu tempat Dara menyewa selama menjadi dosen itu juga tidak tahu berapa nomor ponsel Dara yang terbaru.

Tidak hanya itu. Bahkan Dena dan Santi yang adalah dua sahabat Dara juga tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan perempuan itu saat ini. Mereka berdua juga sama sekali tidak tahu nomor ponsel terbaru Dara.

Para penggemar Dara semakin geram dan patah hati. Mereka tidak begitu mudah melupakan sosok primadona kampus itu. Bahkan karena aksi protes yang berawal dari sakit hati masal itu, Rino lagi-lagi menjadi korban getahnya.

Rino lagi-lagi hanya bisa menghembuskan nafasnya lagi ketika ia sudah berada di meja kerjanya. Kali ini tatapan tajam dari para penggemar Dara semakin menusuk-nusuk rasa keberaniannya.

"Aku capek, tiap hari selalu mendapatkan tatapan tajam itu." Keluh Rino sambil menyalakan komputernya.

"Ya, bagaimana mereka tidak menatapmu tajam, Rino. Mereka semua sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi." Jawab si perempuan berkuncir kuda dan berkacamata tebal yang kini duduk di sebelahnya.

Ya, perempuan saingan Rino saat mengejar S1 itu kini sudah sama-sama menjadi dosen, sama seperti Rino.

"Memangnya apa masalahnya? Sampai Dara tega menghilang. Dia yang menghilang, kok malah aku yang kena getahnya?" Rino menatap perempuan saingannya itu dengan tatapan letih.

Lantas perempuan itu pun memperlihatkan sebuah gambar dari ponselnya. Rino kaget melihat sosok di foto itu. Masalahnya ia kenal betul siapa sosok itu.

"Dia? Dia kenapa?" Tanya Rino yang masih penasaran kenapa foto pria itu ada di ponsel teman sekaligus saingannya itu.

"Kata penggemarnya, sosok ini yang berhasil membuat Dara patah hati parah. Bahkan saat tahu kalau pria ini sudah menikah, Dara bertekad untuk mengundurkan diri dari kampus ini."

"Masa, sih?" Perempuan itu hanya mengangguk beberapa kali menjawab pertanyaan Rino.

"Nih, kalau tidak percaya." Perempuan itu lalu menampilkan foto lainnya dari ponselnya. Di foto itu tertera tulisan tangan Dara yang berasal dari bagian belakang foto itu.

Terimakasih, karena telah menjadi patah hati terindahku. Selamanya aku hanya bisa mencintaimu dalam diam.

Rino tertegun melihat pesan singkat yang tertulis di foto itu. Pria itu diam membisu. Sedangkan pemilik ponsel itu menarik lagi ponselnya.

"Sekarang kamu tahu, kan apa yang sebenarnya terjadi? Makanya mereka semua jadi begitu marah sama kamu."  Perempuan itu menaruh ponselnya di atas mejanya.

"Aku ingin sekali mengatakan ke semua orang. Ke para penggemarnya, kalau aku sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku benar-benar baru tahu." Rino masih mencondongkan tubuhnya ke arah temannya itu, sedangkan perempuan berkacamata tebal itu sibuk mengetik sesuatu di komputernya.

"Ya sudah. Biar waktu yang berlalu yang membuat mereka melupakan fenomena ini. Pasti lambat laun mereka juga akan melupakan sang primadona kampus itu. Toh banyak perempuan cantik dan cerdas seperti dia, kan?"

"Iya juga, sih. Jadi sebaiknya saat ini aku bersabar saja menghadapi semua sorotan tajam itu. Toh lama-lama mereka juga akan lupa."

Lalu Rino pun juga ikutan mengetik sesuatu di komputernya. Lalu beberapa saat kemudian ia mencabut flash disk yang tertempel di CPU nya, lalu bersiap-siap dan beranjak untuk pergi mengajar.

---

Sebuah kafe yang menghadap jalan raya di kota itu. Suasana sore hari saat hari Minggu membuat lalu lintas di kota itu berlalu lalang. Sedangkan masih banyak orang-orang yang juga ikutan berjalan-jalan sore di trotoar.

Rino memerhatikan jalan raya yang ramai itu sambil menikmati kopi panasnya. Sambil ia menunggu balasan dari seseorang melalui ponselnya.

"Rino maaf terlambat. Aku sebentar lagi sampai, kok." Rino membaca pesan dari orang yang dinantinya itu.

"Santai saja. Aku juga tidak sedang dikejar waktu, kok." Balas Rino.

Rino lalu mematikan layar ponselnya. Lalu ia secara pelan-pelan masih asik menikmati kopinya sambil memerhatikan pemandangan jalan raya itu.

Tidak berselang lama, seorang pria berkulit putih dan sangat tampan itu datang dengan keadaan yang terburu-buru. Kali ini, pria itu tidak datang bersama istrinya. Tentu saja karena Rino memang meminta pria itu untuk datang sendiri.

"Kenapa Rino? Kok kamu tumben-tumbenan mengajakku ketemuan berdua doang. Bahkan kamu juga melarang yang lainnya untuk datang." Pria itu pun duduk di hadapan Rino.

Rino tersenyum kecil melihat pria dihadapannya yang begitu berantakan. Terlihat ia seperti terburu-buru.

"Setidaknya kamu bernapas dulu. Atau kamu bisa pesan minuman atau makanan dulu. Sebelum kita berbicara." Ucap Rino dengan santainya. Sedangkan pria dihadapannya segera merapikan dirinya.

Lantas pria itu pun ke arah kasir untuk memesan minuman lalu kembali ke mejanya. Dan berselang beberapa saat minuman pesanannya pun diantarkan waiters nya.

"Kamu sudah tenang, belum? Kalau belum, aku belum bisa memulai pembicaraan."

Pria yang terkenal berkharisma sewaktu SMA itu pun sebenarnya merasa deg-degan dengan perkataan Rino. Lantas ia pun meminum seteguk saja teh hangat yang dipesannya itu, lalu setelah itu ia menjadi tenang.

"Sudah, Rino. Aku siap. Memangnya ada apa? Sepertinya serius sekali."

Lantas Rino pun menyalakan layar ponselnya lagi. Dan dihadapan pria itu, ia membuka galeri foto dan memperlihatkan foto pria yang adalah sosok yang berada di depannya ini.

"Kok ada foto aku? Kenapa foto aku, No?" Tanya pria itu.

Tanpa basa-basi, Rino pun menggeser layar ponselnya, dan di sana tertera pesan singkat dari Dara. Pesan singkat yang telah berhasil membuat satu kampus menjadi geger.

Pria itu tertegun, dia kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu mau berbicara apa setelah membaca pesan itu.

"Iya, Dika. Dara." Rino pun mematikan layar ponselnya lagi. Dan lalu meletakkannya di sakunya.

"Dara? Jadi selama ini Dara benar-benar suka sama aku?" Dika merasa sama sekali tidak percaya. Karena setahunya, Dara itu saat kuliah memang terkenal sebagai mahasiswa berprestasi.

Dika bahkan sama sekali tidak menyangka kalau Dara bahkan pernah mempunyai hati kepada Dika. Padahal Dika juga tahu persis kalau saat itu dirinya tidak pantas untuk dibanggakan.

"Bagaimana mungkin, Rino? Dara waktu kuliah itu adalah mahasiswa berprestasi. Sedangkan aku? Lulus kuliah saja sudah sangat bersyukur. Itu, pun karena kamu juga sudah sangat bekerja keras untuk memperbaiki nilai-nilai akademisku."

"Itulah cinta, Dika. Dia sama sekali tidak berusaha untuk memisahkan dirimu dari Dewi, karena ia tahu kalau kamu lebih memilih istrimu itu. Dan kamu bahagia dengan itu. Bahkan, ketika tahu kamu ternyata memilih Dewi, dia sudah sangat berusaha melupakan dirimu dengan tenggelam dalam ilmu astronomi. Namun, kamu masih lebih memilih Dewi, bukan? Daripada Dara?"

"Tentu saja. Aku lebih memilih Dewi. Karena Dewi adalah satu-satunya istriku tercinta, dan ibu dari anak-anakku."

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang