Sambutan Bikin Malu

2 0 0
                                    

"Sayang. Ku dengar kamu ada di sini selama sepuluh tahun, ya? Bolehkah aku menunggumu?" Rino bertanya kepada Rani yang kini duduk di sebelahnya.

Jemarinya ia selipkan di tiap-tiap sisi jemari tangan perempuan di sebelahnya. Perempuan itu masih terdiam, sama seperti hari-hari sebelumnya saat Rino secara rutin terus menjenguk sosok yang dianggapnya kekasihnya itu.

Rani masih terbengong-bengong, mulutnya menganga kecil sambil wajahnya menengadah ke langit. Seperti biasanya, ketika mereka berkencan, langit di pagi itu selalu biru cerah.

Rino masih tersenyum kecil karena tidak menerima tanggapan dari perempuan di sebelahnya. Ia sangat memaklumi reaksi Rani. Lalu Rino pun lagi-lagi menyandarkan kepala Rani di bahunya, dan Rino menyandarkan kepalanya di atas kepala Rani. Mereka berdua kini masih menikmati pemandangan langit biru dihiasi awan putih itu dengan posisi seperti itu.

"Sayang. Biasanya aku mendongeng kepadamu. Mengenai langit, awan, bulan, bintang, dan segala yang biasanya aku, orang awam tahu mengenai tata surya." Ucap Rino setelah melamun beberapa saat.

"Tapi kamu tahu, sayang? Aku sekarang ini tidak menceritakan tentang dongeng itu. Aku ingin memberitahukan kamu mengenai sesuatu." Rino pun mengeratkan genggamannya kepada tangan Rani.

"Aku mungkin akan jarang berkunjung, sayang. Tidak seperti sebelumnya yang hampir setiap hari datang ke sini. Untuk seterusnya, sampai kamu benar-benar sembuh dan aku bisa membawamu pulang."

"Aku tahu, ketika kamu benar-benar sembuh, kamu seperti biasa akan sangat membenci akan apa yang kudapatkan saat ini."

Rino pun menghela nafasnya.

"Aku keterima beasiswa penuh, Rani. Fakultas MIPA. Jurusan matematika. Aku sama sekali gak nyangka, padahal saat itu aku sama sekali iseng mencoba dan tidak mengharapkan akan keterima."

Rino lalu menengadahkan wajahnya ke bawah, melihat ekspresi wajah Rani yang ternyata masih datar. Rani terlihat sama sekali tidak bergeming dengan berita yang baru saja ia kabarkan itu. Tidak seperti Rani ketika sadar sepenuhnya. Biasanya, Rani akan mendengus kesal, atau mungkin berusaha menjauh darinya ketika mendapatkan berita prestasi yang sebenarnya sangat membanggakan itu.

Meskipun begitu, Rino sama sekali tidak kecewa. Rino tahu, kalau Rani saat ini tidak mungkin bisa berekspresi seperti itu. Karena mungkin saat ini pikiran perempuan di sebelahnya ini tidak sedang bersamanya. Mungkin pikirannya sedang asik mengkhayal sendiri, tanpa berniat berbagi dengannya.

Rino lalu menengadahkan kembali wajahnya melihat langit biru yang terpampang jelas di kolong langit, sambil kepalanya bersandar di atas kepala Rani.

"Dan kamu tahu apa yang lucu? Aku mendaftar di jurusan itu di kampus yang sama dengan Dea, Dewi, Dika, dan Rio. Sedangkan hari ini, perkuliahanku akan dimulai. Dan itu berarti aku jadi adik tingkat mereka berempat."

"Dan kamu tahu, bukan kemampuan Dika? Dia yang selalu menjadi andalan lomba debat, justru mengambil jurusan yang sama dengan Dewi, Dea, dan Rio. Dia bilang ke aku kalau dia menyesal mengambil fakultas itu karena sekedar ikut-ikutan. Seandainya dia tidak ikut-ikutan, dia bisa saja mengambil jurusan sesuai kemampuan yang dia punya. Seperti jurusan komunikasi, atau marketing." Mengingat obrolan dengan Dika waktu itu, Rino pun terkekeh pelan.

"Tapi tidak apa-apa, sayang. Setidaknya biarkan dia mencoba dulu semampunya. Aku berjanji aku akan membantunya bisa lulus dari jurusan ini sebagai seorang sarjana."

"Doakan aku, ya sayang. Supaya aku bisa mengikuti perkuliahan ini dengan lancar. Semoga aku bisa memberikan hasil yang terbaik, sehingga dewan kampus sama sekali tidak menyesal telah memberikan aku kesempatan beasiswa penuh ini. Aku juga berharap, supaya kamu terus mempunyai semangat untuk bisa sembuh. Kamu pasti rindu, bukan untuk mempelajari ilmu astronomi lagi?" Rino pun kini mengecup punggung tangan Rani sebelum akhirnya ia melepaskan tangan perempuan itu.

"Aku permisi, ya sayang."

Lalu Rino pun mengangkat kepalanya dari tempat bersandar, menegakkan kembali kepala Rani, lalu beranjak pergi meninggalkan kursi taman yang terletak di pinggiran halaman rumah sakit jiwa itu.

---

Bersama Dea, Dewi, Dika dan Rio, kini Rino berjalan ke dalam kampus tempatnya berkuliah itu.

Rino sama sekali tidak menyangka ketika setibanya di kampus, ia justru mendapatkan sorotan mata penuh rasa kagum dari hampir semua mata yang memandangnya di fakultas itu.

Sedangkan yang membuat Rino lebih merasa malu lagi, di salah satu bagian gedung fakultas itu terpampang sebuah spanduk berukuran sangat besar yang memampangkan wajahnya yang tengah tersenyum sambil memakai almamater kampus.

Bahkan di spanduk itu tertulis "SELAMAT DATANG SANG LEGENDA OSN MATEMATIKA."

Dan saat itu juga, sesungguhnya Rino yang tidak ingin dikenal oleh siapapun rasanya benar-benar ingin menghilang. Dia lalu berusaha bersikap biasa saja walaupun hatinya sangat dongkol.

Sedangkan keempat orang yang kini berstatus sebagai kakak tingkatnya itu, mereka terkekeh pelan sambil menutup keras mulutnya karena takut kelepasan tertawa.

"Benar-benar sangat membuatku malu. Kenapa harus ada sambutan seperti ini?" Ucap Rino pelan sambil menundukkan kepalanya. Sedangkan sedari tadi sorotan mata penuh rasa kagum itu tidak henti-hentinya diterimanya.

Bahkan kini, Rino sudah mendengar Beberapa bisik-bisik dari beberapa mahasiswi yang berada di sana.

"Psstt... Itu, tuh legenda OSN matematika itu." Bisik seorang mahasiswi ke temannya yang tengah bergerombol.

"Wah. Aslinya tampan banget, ya? Gak nyangka, bukan cuman otaknya dia yang bagus, perawakannya juga sangat sempurna." Jawab seorang mahasiswi lainnya.

"OOO, aku pernah kalah dari dia, tuh. Jadi dia toh yang waktu itu bikin aku melengser jadi juara dua OSN Matematika tingkat SMA waktu itu." Sahut seorang mahasiswi lainnya yang masih berada di gerombolan itu.

Mendengar pernyataan dari seorang mahasiswi yang kini duduk di sebelahnya itu, mata Rino membelalak. Rino yang terkejut segera menengok ke arah mahasiswi yang duduk di sebelahnya. Sedangkan mahasiswi yang kini sedang dilihat dari Rino membalas tatapan itu.

"Kamu, kan? Rino sang legenda itu?" Tanya mahasiswi berkacamata itu.

"Iya, aku Rino. Aku mahasiswa baru di sini. Sebentar lagi aku akan masuk ke kelas ini." Ucap Rino sambil menunjukkan kelas di belakang temboknya.

"Sama. Aku juga mahasiswa baru di kampus ini. Berarti kita nanti sekelas, ya?" Rino menganggukkan kepalanya mendengar pernyataan gadis pintar di sebelahnya itu.

"Kamu keterima di sini karena beasiswa penuh juga?" Tanya Rino yang dijawab gelengan kepala oleh gadis itu. Rino pun hanya ber oh ria.

"Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya disambut dengan sebegitunya di fakultas ini? Bahkan pihak dewan kampus juga sampai heboh, lho ketika tahu kalau kamu mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa waktu itu." Ledek mahasiswi itu.

"Sebenarnya aku malu. Tapi ya... Ya sudahlah, toh aku juga ke sini buat menuntut ilmu, bukan? Bukan untuk yang lain." Jawab Rino sambil tersenyum kecil.

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang