"Pa. Papa ada apa memanggilku?" Ucap Ari setibanya pria itu dari mengantarkan Don dan Erika ke Desa dan langsung dipanggil ke ruangan kerja ayahnya.
"Ari, duduk dulu." Ucap bos mafia itu sambil mempersilahkan Ari duduk di bangku depan meja kerjanya.
Sambil tetap memandangi wajah renta ayahnya, Ari duduk di bangku yang telah disediakan.
"Nak. Kamu tahu, bukan kalau papa sudah renta. Sudah saatnya kamu menggantikan posisi papa sebagai bos mafia?" Ucap ayahnya Ari itu. Lantas pria itu memberikan sebuah surat keterangan penyakit dari ayah tiri Ari itu.
Ari dengan wajah sedihnya melihat surat riwayat penyakit ayahnya itu. Ia sungguh sangat tidak rela karena sebentar lagi harus berpisah dengan ayah tirinya yang sudah seperti ayah kandungnya itu.
"Pa..." Ucap Ari lirih. "aku masih merasa kurang siap, pa. Masih banyak hal yang harus ku pelajari dari papa."
"Nak. Sampai kapanpun akan ada banyak hal yang sampai kapanpun harus kamu pelajari." Bos mafia itu lalu menarik surat riwayat penyakitnya dan menaruhnya di laci mejanya. "kamu tahu kapan kamu akan berhenti belajar?"
Ari menggeleng.
"Kamu akan berhenti belajar ketika ajal sudah memanggilmu. Di sana, tidak ada lagi hal kesakitan, penderitaan, dan segala sesuatu cobaan yang harus dialami. Dan sebentar lagi papa akan mengalami itu."
"Nak. Kemarikan tangan kananmu." Pinta bos mafia itu. Dengan ragu-ragu Ari meletakkan tangan kanannya di atas meja, dan ayahnya lalu mengelusi jari manis Ari.
"Di jari manis ini, sebentar lagi akan terhias cincin pernikahanmu dengan Santi. Sebelum waktu papa tiba dan akhirnya kamu yang duduk di kursi ini, ayah ingin sekali melihat penerus papa ini sudah mempunyai pendamping yang memang sepadan untukmu." Ucap bos mafia itu dengan intonasi suara yang tenang.
Ari melihat sorot mata ayah tirinya itu yang begitu tenang. Kerutan-kerutan halus di wajah ayahnya itu semakin menunjukkan kalau sudah banyak hal kelam yang telah dialami oleh pria renta ini di sepanjang hidupnya.
Dan kini sebentar lagi penderitaan ayahnya ini akan berakhir. Dan Ari mau tidak mau, siap tidak siap, harus menerima perjalanan waktu yang tidak mau berhenti itu.
"Papa mungkin memang tidak cukup waktu untuk melihat cucu dari pasangan Ari dan Santi. Namun ayah akan sangat puas melihat anak lelaki papa menikah." Lantas wajah pria renta itu menatap Ari yang wajahnya dipenuhi dengan nanar.
"Apakah permintaan papa begitu berat bagimu, nak?"
"Tidak pa. Aku akan meminta keluarga Santi supaya aku dapat meminang anak gadisnya itu."
---
Satu bulan berlalu. Proses menjelang pernikahan Ari dan Santi sudah sampai di depan mata. Tidak ada drama yang begitu berarti maupun perselisihan kecil selama persiapan pernikahan itu.
Ari dan keluarga besar bos mafia itu sudah sangat tahu seluk beluk keluarga Santi yang memang selama ini hidup di dalam bawah garis kemiskinan. Dan karena ketulusan cinta Ari, ditambah Santi yang selama ini memang tidak lagi berulah semenjak mendapatkan pekerjaan yang layak dari perusahaan Dena, pihak keluarga besar bos mafia itu sama sekali tidak mempermasalahkan hubungan Ari dan Santi. Bahkan mereka juga yang membiayai seluruh biaya pernikahan Ari dan Santi.
Sedangkan dari pihak keluarga Santi, keluarga Santi awalnya sama sekali tidak menyangka kalau putra tunggal dari bos mafia itu ternyata mempunyai hati kepada Santi. Mereka awalnya terlalu minder karena kesenjangan sosial. Namun karena pekerjaan Santi yang sudah menetap, ditambah gaji yang diterima Santi itu tergolong besar, maka pihak keluarga Santi dengan percaya dirinya merestui pernikahan Ari dan Santi.
---
Sembari membicarakan soal pembagian dividen saham dari investor penipu yang akhirnya diakuisisi oleh perusahaan Dena, Dena dan Santi ingin sekali memberikan undangan pernikahan Santi dan Ari kepada Don.
Berbekal dari GPS yang diberikan oleh Don, kedua perempuan cantik independen itu datang ke desa untuk berkunjung ke kantor Don.
Suasana sejuk yang menghiasi pemandangan indah itu membuat perasaan Santi dan Dena terasa lega. Pikiran mereka yang tadinya begitu stress karena hiruk pikuk ditambah polusi kendaraan bermotor dari kota seolah-olah menjadi lenyap karena pemandangan dan cuaca sejuk itu.
Kini mereka berdua telah sampai di dalam gedung perkantoran usaha sarang madu itu. Sebuah ruang yang tidak begitu besar itu ditutup oleh tembok yang menggunakan bahan triplek.
Santi dan Dena setelah mengetuk pintu dan diijinkan masuk oleh sekertaris Don itu segera duduk di sofa di ruangan Don itu. Mereka tahu Don tengah berbicara dengan dua orang yang berada di depannya dan obrolan mereka bertiga begitu serius namun juga tidak tegang.
Don mengangguk formal kepada Dena dan Santi. Menandakan kalau pria yang menjadi CEO di perusahaannya itu tahu dan mengijinkan keberadaan Santi dan Dena.
Namun, ketika kedua perempuan itu mendengarkan secara seksama suara perempuan yang duduk di depan Don, mereka berpikir telah mengenali suara itu.
"Santi. Itu seperti suaranya Dara. Iya, bukan?" Tanya Dena dengan ragu-ragu.
"Iya. Tapi tidak mungkin. Mungkin hanya mirip." Santi berusaha menggubris perkiraannya itu. Masalahnya mereka berdua selama ini telah kehilangan kontak dengan Dara yang adalah salah satu sahabat dari mereka berdua.
"Ah, iya. Mungkin saja." Dena terkekeh pelan. "Mungkin kita sudah terlalu rindu dengan Dara, jadi setiap suara perempuan itu selalu terdengar suara Dara." Dena pun memandangi berkas laporan yang digenggamnya. "Aku hanya bisa berharap Dara saat ini tengah hidup bahagia. Walaupun kita sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang."
Santi merasa Dena saat ini masih sangat sedih karena kehilangan Dara yang memang tidak tahu dimanakah gerangan perempuan cantik itu berada. Lantas Santi hanya mengelusi bahu Dena.
"Iya, Dena. Aku juga berharap Dara sekarang hidup bahagia." Ucap Santi sambil memeluk tubuh Dena. Guna menenangkan hati sahabatnya itu.
Selang beberapa saat, akhirnya obrolan Don dengan kedua orang itu telah selesai. Kini kedua orang itu berbalik arah dari meja Don. Dan ketika itu, seorang perempuan cantik berkacamata besar itu terbelalak melihat tamu Don yang sudah datang dan menunggu di sofa itu. Sedangkan pria di sebelah perempuan cantik yang cerdas itu juga menatap kedua perempuan itu dengan tatapan yang penuh tanda tanya.
"Dena, Santi?" Tanya perempuan cantik berkacamata besar itu.
"Ah, iya. Itu Dena dan Santi, bukan?" Tanya pria yang disebelah perempuan berkacamata besar itu.
Dena dan Santi mendongakkan kepalanya ke arah kedua orang yang memanggilnya. Ternyata apa yabg dipikirkan kedua perempuan yang menjadi tamu Don itu memang benar. Ternyata perempuan itu adalah Dara.
"Lho? Kalian ternyata saling kenal, ya?" Tanya Don yang berdiri di belakang Dara dan pria yang bernama Doni itu.
"Iya!" Pekik Dena. Lantas Dena dan Santi tanpa ragu-ragu memeluk Dara. Dara yang merasa senang itu memeluk kedua sahabatnya yang sudah terpisah sangat lama itu.
"Don. Perkenalkan. Ini Santi dan Dena. Mereka berdua sahabatku semenjak aku menginjak SMA dulu, dan saat aku masih tinggal di kota. Aku sama sekali tidak menyangka bisa bertemu dengan mereka lagi." Ucap Dara yang tersenyum senang kepada Don. Don juga tersenyum formal mendengar pernyataan Dara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Guratan Kehidupan S2
RomansaBaca Guratan Kehidupan S1 dulu, ya. supaya lebih mengerti alur ceritanya. penyesalan terbesar bagi Dena adalah merebut paksa Rino, dengan berbagai cara, dari pelukan Rani. Walaupun Dena kini sudah berhasil mendapatkan Rino, bahkan seluruh semesta me...