Sungguh-sungguh Mencintai

1 0 0
                                    

Berbulan-bulan telah berlalu, kini kandungan Dena sudah memasuki bulan ke delapan.

Selama masa mengandung itu, Dena selalu merawat bayi yang dikandungnya itu seorang diri. Selama masa mengandungnya itu, Dena selalu berusaha menjaga mood dan emosinya untuk tidak mudah marah, walaupun memang semakin hari segala sesuatunya selalu sangat mudah membuatnya marah.

Dena berusaha untuk tetap bersabar menghadapi hari-harinya. Berusaha bersikap sabar menghadapi gunjingan-gunjingan yang selalu diterimanya oleh para pesaingnya dan yang iri dengan keberhasilannya. Dan Dena juga berusaha menjaga supaya janin yang berada di dalam kandungannya tidak kenapa-napa dan sehat selalu.

Bahkan, ia juga selalu datang ke dokter kandungan untuk memeriksa kandungannya seorang diri.

Awalnya, Santi selalu menerima kalau Dena selalu menolak dirinya untuk tetap mendampingi atasannya itu. Namun, semakin mendekati masa persalinan sahabatnya itu, kekuatiran Santi semakin menjadi. Ia benar-benar takut Dena kenapa-napa walaupun Dena selalu berkata dirinya baik-baik saja.

"Santi." Ucap Dena sambil berjalan pelan-pelan ke arah asistennya itu.

Santi yang tadinya sibuk di depan komputernya melihat Dena yang kini jalan perlahan-lahan ke depannya. Lantas Santi dengan cekatan langsung menopang Dena dan mengantarnya ke tempat duduk dekat Santi.

"Kamu kenapa, Dena? Kan bisa lewat perpesanan?" Tanya Santi yang kuatir.

Dena menggeleng sambil tersenyum kecil. Sedangkan salah satu tangannya mengelusi perutnya yang sudah sangat besar itu.

"Aku boleh ngobrol sama kamu? Sekarang ini?" Tanya Dena.

"Tapi bukannya kamu gak mau kalau kita bicara pribadi di saat jam kerja? Kamu kan begitu disiplin dengan peraturan itu."

"Kali ini saja, Santi." Dena pun tersenyum pasrah sambil melihat perutnya. "Aku semakin takut."

Santi kini kembali melayangkan pandangannya kepada perempuan yang duduk di depannya itu.

"Aku takut aku tidak bisa mempertahankan bayi ini. Karena sampai saat ini aku masih merasa sangat bersalah kepada Rani." Ucapan Dena kini terdengar bergetar.

"Dena. Jangan menangis di sini. Aku takut para staf menjadi heboh karena ini." Ucap Santi kaget. Dia terlihat begitu kuatir.

"Aku boleh minta tolong, Santi? Aku ingin ketemu sama Rani. Kudengar dari Ari katanya Rani sekarang sedang libur. Jadi pasti dia masih ada di apartemen." Ucap Dena yang hampir tidak bisa menahan air matanya.

---

"Terimakasih, Lion." Ucap Dena yang berterimakasih ketika Lion menyuguhkan teh manis hangat beraroma Jasmine kepada dirinya dan Santi.

Dena meminum sedikit teh manis hangat itu untuk menenangkan pikirannya. Sedangkan Santi masih terpukau dengan isi apartemen Lion dan Rani yang begitu dipenuhi dengan berbagai tanaman hidroponik.

Sedangkan Rani yang kini tengah menggendong bayi yang berumur beberapa bulan itu menatap kagum sosok Dena dan Santi yang masih sangat anggun dan berkelas itu.

"Anakmu sangat sehat, Rani." Ucap Dena yang tersenyum sayang ke arah anak bayi lelaki yang tertidur pulas di gendongan Rani.

"Iya, aku tidak menyangka aku bisa merawat anak ini sehingga ia masih sehat dan lucu." Ucap Rani terkekeh.

"Oh iya, Dena. Usia kandungan mu sudah berapa bulan? Sepertinya sudah sangat besar." Ucap Rani lagi setelah melihat perut Dena yang besar.

"Aku sudah masuk delapan bulan, Rani. Sebentar lagi akan melahirkan. Semoga bayi ini sehat-sehat saja saat lahir ke dunia ini." Ucap Dena lembut. Dan Rani begitu antusias mendengar pengakuan Dena.

"Lalu kemana Rino? Apakah dia selama ini masih mendampingimu?" Tanya Rani.

"Kamu tidak cemburu, Rani?" Tanya Dena yang mendengar pertanyaan Rani barusan.

"Cemburu? Untuk apa? Aku sudah memiliki Lion jadi aku tidak butuh pria manapun selain suamiku?" Ucap Rani dengan polosnya.

"Jadi kamu merelakan Rino untukku?" Tanya Dena.

"Iya." Ucap Rani sambil tersenyum. Lalu Rani menggenggam lembut tangan Dena. "Aku sudah merelakan Rino untukmu, Dena. Karena memang bagiku kamu dan Rino itu sudah cocok. Sangat terlihat semenjak waktu SMA dulu. Aku sedari dulu memang merasa aku tidak pantas untuk Rino."

"Tapi, Rino mencintaimu, Rani." Ucap Dena. Kini matanya kembali bergetar. Matanya Dena pun sudah mulai memerah.

"Aku sudah tidak mencintai Rino, Dena. Bagiku Lion adalah yang terbaik untukku." Ucap Rani lembut. "Atau biar kutebak. Kamu ke sini sesungguhnya untuk meminta maaf kepadaku karena dulu kamu merebut Rino dariku, bukan?"

Air mata Dena menetes. "Aku minta maaf, Rani. Aku salah. Aku salah karena telah merebut Rino darimu." Dena lalu mengusap kasar air matanya. "Aku sudah merelakan Rino untuk bebas. Aku rela apabila Rino jatuh ke pelukan perempuan lain karena bagaimanapun akulah yang merebut kebahagiaan Rino."

"Sudahlah, Dena. Jangan menangis. Aku dulu memang pernah merasa tidak rela ketika kamu merebut Rino dariku. Tapi aku merelakan Rino untukmu. Benar-benar rela. Aku melihat kamu sudah berubah, Dena. Kamu sudah tidak mengandalkan nafsu lagi untuk hubungan pernikahan. Kamu kini benar-benar menginginkan Rino karena kamu sungguh-sungguh mencintainya." Ucap Rani menguatkan.

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sungguh-sungguh mencintainya? Padahal bayi yang kukandung ini, karena aku memerkosanya saat itu."

"Dena." Ucap Rani sambil tersenyum sayang. "Mendengar ceritamu saja aku sudah tahu kalau kamu sekarang sungguh-sungguh mencintainya. Ketika kamu sungguh-sungguh mencintai seseorang, kamu bahkan merelakan orang itu untuk pergi karena yang kamu inginkan adalah melihat orang yang kamu cintai itu bahagia. Itu, bukan alasanmu membiarkannya pergi?"

---

Malam itu, Dena kini sudah berada di kamarnya. Dirinya yang kini tengah memakai jaket dan celana panjang pemberian Rino waktu itu kini tengah berbaring di ranjang.

Sambil tidur-tiduran menghadap foto Rino, Dena memeluk surat perceraian yang waktu itu diajukan oleh Rino. Di surat itu, Dena tidak meminta harta gono-gini ke Rino karena memang hanya anak yang dikandungnya yang selama ini ia inginkan dari suaminya itu. Dan kini surat itu telah ditandatanganinya.

Dena sama sekali tidak bisa tidur karena ketakutannya akan menjalani proses persalinan itu. Walaupun begitu, ia rela apabila ia harus kehilangan nyawanya asalkan bayi yang dikandungnya bisa lahir dengan selamat.

Walaupun begitu, Dena takut, sangat takut. Ia sebenarnya sangat membutuhkan sosok Rino saat ini.

Tak lama kemudian, perut Dena melilit. Sakit yang dirasakan sangat menyakitkan. Dena ketakutan apalagi ketika ia melihat ada air merembes dari celananya.

Buru-buru dengan sekuat tenaga dan menahan rasa sakit yang amat sangat perempuan itu meraih ponsel. Dan satu-satunya sosok yang diingatnya adalah Santi.

"Santi. Bawa aku ke rumah sakit. Aku takut." Ucap Dena sambil terisak-isak.

"Aku ke sana sekarang, Dena!" Ucap Santi yang berada di sambungan itu.

---

Santi tidak peduli apabila ini telah mengganggu jam tidurnya, namun kini ia benar-benar kuatir akan keadaan Dena.

Ditemani oleh Ari, Santi begitu kuatir dan jalan mondar-mandir di depan ruang operasi persalinan itu. Sedangkan Ari kini tengah mengelusi bahu Santi sambil terus memberikan kata-kata penguatan.

Namun, rasa kuatir Santi langsung sirna. Ia seperti melihat sebuah harapan ketika ia melihat sosok pria yang seharusnya ada di ruangan itu. Ari juga melihat ke arah yang Santi lihat, dan ia juga tersenyum bangga melihat pria itu.

"Sudah kuduga, kamu pasti datang." Ucap Ari sambil menggenggam erat jabatan tangan pria itu.

"Iya. Karena dia adalah istriku. Dan anak itu adalah anakku. Jadi sudah seharusnya aku ada di sini." Ucap pria yang adalah Rino itu.

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang