Jadi Dosen

3 0 0
                                    

Awalnya, gadis pintar teman sekelas Rino itu selalu menjadi saingan Rino dalam hal mengejar prestasi. Bahkan walaupun dengan cara yang sportif, persaingan antara Rino dengan gadis itu menuai decak kagum seluruh fakultas di kampus tersebut, tidak hanya di fakultas MIPA.

Bahkan karena persaingan dua orang itu, kampus tempat kedua orang berkuliah itu seringkali menjadi ancaman buruk bagi para pesaingnya di Kompetisi Matematika (Komat) baik dari tingkat nasional, bahkan sampai internasional.

Maka jangan heran, justru karena persaingan gila-gilaan itu, nama Rino dan gadis saingannya itu semakin dikenal di seantero kampus, bahkan sampai terkenal di seluruh fakultas MIPA di seluruh kampus di negara itu.

Sayangnya, persaingan ketat antara Rino dan gadis itu berakhir karena selama ini Rino ternyata mengambil jalur cepat di perkuliahannya, bahkan hanya dalam waktu dua tahun, Rino telah resmi lulus S1 Fakultas MIPA jurusan Matematika.

"Selamat, saingan terberatku. Aku gak nyangka persaingan kita telah berakhir di sini." Ucap sang gadis kepada Rino ketika gadis itu bersama keempat teman Rino menghadiri wisuda pria itu.

Saat itu, gadis tersebut yang memang tidak terlalu ambisius daripada Rino kini sudah berada di semester empat. Ia ingin menjalani perkuliahannya dengan jalur standar saja. Karena mengingat cara yang Rino ambil, rasanya otaknya tidak mampu bekerja sekeras itu. Apalagi ternyata Rino juga bekerja sambilan sebagai asisten dosen. Sungguh ia tidak habis pikir bagaimana bisa ada orang yang terlalu pintar seperti saingannya ini.

"Terimakasih." Jawab Rino sambil menyambut jabatan tangan dari gadis di hadapannya. "Ku harap kamu bisa tetap jadi andalan kampus di acara Komat tahun ini."

"Setidaknya sainganku telah berkurang satu." Jawab gadis itu sambil terkekeh. "Lantas habis ini kamu mau ke mana?" Tanya gadis itu.

"Aku rencananya mau lanjut beasiswa S2 di sini. Pihak kampus sudah mohon-mohon supaya aku lanjut berkuliah di sini." Jawab Rino yang disambut pelototan dari keempat temannya.

"Beneran pihak kampus sampai mohon-mohon ke kamu?" Tanya Dea yang dijawab anggukan oleh Rino.

"Ya, mau gimana? Aku harus terima, bukan? Apalagi aku juga ditawari jadi dosen di kampus ini." Jawab Rino.

"Memangnya kamu gak mau istirahat dulu? Apa kepala kamu gak panas disuruh mikir Mulu?" Tanya Gadis itu yang lagi-lagi dijawab gelengan oleh Rino.

"Kamu gak mau cari pacar, gitu? Teman-teman aku pada antri, tuh pingin jadi pacar kamu." Gadis itu mulai mempromosikan teman-temannya. Sedangkan keempat orang lainnya itu menahan tawanya dengan senyuman.

"Maksudmu, teman-teman kamu yang  barengan sama kamu pas awal perkuliahan itu?" Pertanyaan Rino dijawab anggukan senang oleh sang gadis. Rino pun kini ikutan tersenyum kecil.

"Sampaikan permohonan maafku buat teman-teman mu. Aku sebenarnya sudah punya pacar." Pernyataan Rino menuai wajah cemberut dari sang gadis. Namun Rino tidak peduli. Kini bayangannya kembali mengingat sosok yang sangat dicintainya yang sampai saat ini masih berada di rumah sakit jiwa.

---

Awal perkuliahan semester baru. Beberapa bulan semenjak acara wisuda Rino.

Rino kini semakin giat dan tekun belajar. Dan kini Rino semakin tidak mempunyai waktu untuk sekedar bercengkrama dengan Dea, Dewi, Rio, dan Dika.

Rino sudah bersiap-siap untuk hari pertamanya mengajar sebagai seorang dosen di mata kuliah matematika kini tengah duduk bersama dengan seluruh penghuni flat itu. Setelah beberapa saat ia masih bersiap-siap untuk berangkat mengajar.

"Rino hari ini jadi hari pertama kamu mengajar. Dan lucunya, justru kamu mengajar di kelas kami." Celetuk Dea ketika mereka berlima sedang sarapan bersama.

Rino yang mendengar celetukan itu tersenyum kecil ke arah Dea. Lalu sambil matanya tidak lepas dari kumpulan kertas yang berisi materi pengajaran yang nanti akan diajarkannya, Rino dengan santai memakan rotinya.

Dika yang berada di sebelah Rino mengintip sebentar dengan kertas-kertas yang sedari tadi ditekuni Rino. Ia lalu memalingkan kepalanya karena melihat angka-angka yang terlihat rumit itu saja kepalanya langsung terasa sakit.

"Kamu serius mau mengajari materi itu ke aku?" Tanya Dika yang wajahnya berubah menjadi pucat pasi.

"Kenapa? Memang materi pertamanya juga ini, kok?" Jawab Rino dengan santainya.

"Jangan susah-susah amat, Rino. Ini saja aku sudah mau pecah gegara pelajaran di kuliah ini. Kamu hanya berhasil membuatku semakin beruban karena kebanyakan mikir." Keluh Dika. Rino yang mendengar keluhan orang disampingnya hanya tersenyum kecil. Ia lalu dengan sekali suapan langsung menghabiskan sarapannya.

"Kamu mau bocorannya, gak? Biar belajarnya bisa nyicil-nyicil dulu. Nanti kalau aku sudah di kampus, aku bisa sibuk sampai malam, lho. Soalnya abis mengajar, aku juga ada kuliah." Tawar Rino.

Mendapatkan tawaran dari Rino, Dika pun langsung melihat Dewi yang duduk di depannya. Dewi pun sambil tersenyum menganggukkan kepalanya tanda setuju.

"Oke Rino. Sekarang kasih bocorannya." Jawab Dika memberikan keputusan. Rino lalu menengok ke arah Dika sambil tersenyum. Ia lalu melihat jam di dinding yang ternyata masih mempunyai waktu beberapa saat sebelum mereka semua pergi meninggalkan flat itu untuk ke kampus.

"Baiklah kalau begitu. Bukan hanya untuk kamu, Dika. Tapi kalian semua juga harus mendengarkan penjelasan materi kali ini. Aku akan berusaha menggunakan kata-kata sesederhana mungkin, supaya kalian lebih mudah mengerti."

Lantas suasana di pagi hari itu berubah menjadi serius. Dea, Dewi, Dika dan Rio merasa sangat beruntung karena mendapatkan bocoran materi terlebih dahulu dari Rino. Apalagi cara mengajar Rino yang langsung dengan poinnya tanpa berbelit-belit terlebih dahulu membuat perkuliahan singkat itu menjadi lebih berbobot.

Selagi Rino menjelaskan materi yang akan dibawakannya saat mengajarnya pertama kali itu, Dika, Dea, Dewi, dan Rio benar-benar memerhatikan dengan sangat serius. Namun sayangnya Rino hanya bisa menjelaskan secara poin besarnya, karena waktunya yang sebentar lagi mengharuskan mereka semua untuk pergi ke kampus.

"Untuk saat ini, aku jelaskan poin-poin besarnya saja, ya. Untuk yang lebih lengkapnya akan kuajarkan di kelas." Ucap Rino sambil membereskan kertas-kertas materi pengajarannya dan lalu memasukkannya ke dalam tas.

Lalu mereka berlima pun membereskan alat-alat makannya. Sebelum mereka pergi meninggalkan flat itu.

"Gimana, Dika? Kamu mengerti sama materi yang aku ajarkan barusan?" Tanya Rino yang kini berada di sebelah Dika, setelah mereka berdua selesai membereskan alat-alat makannya.

"Jujur saja. Penjelasanmu itu memang mudah mengerti. Tapi kenapa materinya terlalu berat, ya? Aku bingung dan kepalaku terlalu pusing." Keluh Dika.

Rino yang mengerti kesulitan Dika tersenyum kecil. Lalu pria berseragam khas dosen kampus tempatnya mengajar itu menepuk-nepuk bahu Dika.

"Aku tahu bagaimana caranya supaya kamu mudah mengerti dan bisa cepat belajar. Kamu mau? Supaya bisa mengejar ketertinggalan kamu." Tawaran Rino membuat mata Dika berbinar-binar, setelah tatapan matanya itu sebelumnya sangat sendu.

"Tentu saja aku mau, Rino. Aku akan sangat bersyukur apabila metode pengajaranmu bisa mendongkrak nilai-nilai ku."

"Baiklah. Aku senang mendengar antusiasmu. Nanti aku akan memberikan tugas sekumpulan soal berdasarkan materi yang aku ajarkan. Dan juga materi-materi yang juga kamu pelajari di mata kuliah lainnya. Kamu mau, kan?"

"Tentu saja. Kalau itu bisa membuatku semakin pintar. Mengapa  tidak?" Jawaban Dika membuat Rino tersenyum. Namun senyuman itu bukan untuknya, dan Dika menyadari itu.

"Kamu jadi ingat Rani?" Tanya Dika ragu-ragu.

"Cara ini. Cara aku mengajarmu. Mengingatkan ku akan Rani. Dulu aku juga selalu memberikan kumpulan soal matematika kepadanya."

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang