Sudah Berlalu

1 0 0
                                    

"Oh, iya Ri. Bagaimana kabar anak yang kupinta kamu carikan waktu itu? Kamu sudah menemukannya?" Tanya Don saat pria itu kini sudah berada di dalam mobil bersama Ari. Setelah pertemuan pembagian saham dengan Dena.

"Sudah. Dia sekarang masih berada di mansion." Ari melihat waktu masih siang. "Sepertinya aku bisa saja mengantarkan mu pulang ke Desa hari ini."

Don pun mengangguk. Melihat betapa rindunya Don dengan keluarga kecilnya, Ari memutuskan untuk memulangkan pria di sebelahnya itu sesegera mungkin.

"Tapi sebelumnya, aku ingin membawa anak itu pulang bersamaku." Ucap Don.

"Baiklah." Lantas mobil yang dikendarai oleh Ari itu terus melaju ke arah mansion.

---

Setibanya di mansion. Don dan Ari berjalan masuk ke dalam rumah besar itu. Don melihat foto keluarga di sana, ia melihat seorang pria berusia matang paruh baya itu ada di sana. Ia berfoto bersama dengan seorang perempuan paruh baya juga yang wajahnya mirip dengan Ari. Dan juga Ari.

Don tertegun melihat foto tersebut. Ia sangat mengingat jelas, kalau pria paruh baya itu dulu pernah ia torehkan rasa sakit hati yang begitu dalam.

Walaupun kejadiannya sudah berlalu lebih dari dua puluh tahun, namun Don yang kini sudah kehilangan rasa egois dan arogannya itu merasakan tidak enak hati.

"Ari." Ucap Don tertegun. Ari pun menoleh.

"Ya, Don?" Tanya Ari.

"Siapa pria ini?" Tanya Don sambil menunjukkan gambar pria paruh baya itu.

"Ah, itu papa." Jawab Ari. "Papa yang membuat pria investor penipu itu segera ditangkap dan mengambil paksa perusahaan investor penipu itu supaya dibagi kepada perusahaan Dena dan perusahaanmu." Ucap Ari.

"Bisakah kamu mengantarkan aku ke pria ini?" Tanya Don dengan ekspresi datar. Ari yang tanpa merasa curiga sedikitpun pun tanpa ragu-ragu memegang lengan Don.

"Tentu saja. Aku juga sebenarnya ingin sekali memperkenalkan kamu kepada papa." Lantas Ari pun membawa Don pergi meninggalkan ruang tamu itu menuju ruangan kerja ayahnya.

---

"Pa. Ada yang ingin kukenalkan pada papa " ucap Ari riang ketika ia melihat ayahnya kini tengah sibuk bekerja di meja kerjanya.

Pria paruh baya itu melihat ke arah Ari dan pria di belakang anaknya itu dengan tatapan datar. Sedangkan Don terlihat tidak enak hati sehingga hanya diam terpaku.

"Oh. Dia orang yang mau kamu kenalkan, Ari? Papa sudah tahu dia. Dia itu Don." Ucap bos mafia itu.

"Papa sudah kenal dia?" Tanya Ari yang tidak percaya.

"Iya." Jawab bos mafia itu sambil mengangguk.

"Tadinya aku mau kasih tahu papa, kalau selama ini Don yang telah melakukan investigasi itu selama tiga hari ini. Sehingga semua laporan yang kuberikan kepada papa itu kudapat dari dia." Ucap Ari. "Tapi ternyata papa sudah kenal. Jadi aku ingin mengantarkan dia pulang ke rumahnya, ya pa. Sekalian mau mengantarkan anak yang waktu itu kita rawat sebentar, karena akan menjadi anak asuh keluarga Don." Lanjutnya.

"Aku masih ada urusan di sini, RI. Kamu kalau mau keluar duluan untuk menjemput anak itu tidak apa-apa." Ucap Don setelah terdiam beberapa saat.

"Oh baik, Don." Lantas Ari pun pergi meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Don yang kini berdua saja dengan bos mafia itu.

"Ada apa, Don?" Tanya Bos mafia itu.

"Aku ingin menebus kesalahanku. Apabila sampai saat ini pun kamu masih merasa sakit dengan perbuatan ku waktu lebih dari dua puluh tahun lalu." Don lalu berjalan pelan menuju meja kerja bos mafia itu.

Bos mafia itu berhenti menarikan jari jemarinya di atas keyboard komputer itu. Ia lalu memandangi pria yang dua puluh tahun lalu itu telah berhasil memukul mundur perusahaan gelapnya.

"Untuk apa kamu meminta maaf, Don? Semuanya telah berlalu. Kamu saat itu hanya menjalankan tugasmu. Dan tidak perlu memikirkan perasaanku dan perasaan Dani." Pria paruh baya itu berdiri dan berjalan menatap jendela yang memamerkan pemandangan taman belakang.

"Iya. Aku tahu. Seharusnya aku tidak meminta maaf soal itu karena aku hanya menjalankan tugasku." Don menggenggam erat ujung kemejanya matanya terus tertunduk.

"Jadi. Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Saat itu kamu tidak perlu memikirkan perasaanku. Kamu tidak perlu memikirkan perasaan Dani. Kalaupun kamu akhirnya membunuh pria itu dengan racun mematikan itu, itu sudah menjadi resikonya sebagai seorang pembelot pemerintahan dan lebih memilih untuk melindungi hal yang paling berharga bagiku. Bisnis gelapku yang sedari dulu sudah menjadi sumber penghasilan dan penopang hidupku." Ucap bos mafia itu.

"Kamu merelakan kesombonganku begitu saja, pak? Bukankah itu sama sekali tidak adil bagimu? Bagaimanapun, bapak yang terlibat di dalam dunia gelap ini bukan karena kesalahan bapak. Harusnya, aku juga ikut membelot. Karena justru aku malah melindungi orang-orang yang akhirnya membuatmu jatuh ke bisnis seperti ini." Ucap Don pelan.

Lantas, pria paruh baya itu sama sekali tidak mau menatap pria yang menjadi tamunya ini. Sedangkan Don yang mengingat masa lalunya, dengan hatinya yang saat ini sudah dipenuhi dengan rasa belas kasih itu semakin merasa tersiksa.

"Don. Saat itu memang sudah tugasmu untuk melindungi masyarakat sipil. Terlepas mereka itu lebih jahat daripada para penjahat sepertiku atau bukan. Aku sama sekali tidak menyalahkan mu dengan soal itu. Dunia ini memang sangat tidak adil, Don. Aku yang adalah korban dari keegoisan orang-orang di sekitarku dulu, justru aku juga yang dulu menjadi incaranmu untuk dirimu menghancurkan bisnis gelapku. Sedangkan mereka, si orang-orang egois yang mementingkan kesenangan pribadi di atas penderitaan orang lain, sampai saat ini masih terlihat hidup dalam keadaan penuh bersenang-senang."

"Bahkan, walaupun Dani berkorban seperti itu setelah menyadari perasaannya kepadaku, setelah ia puas dengan sifat acuhnya kepadaku saat kami SMP dulu, tetap saja. Aku merasa Dani begitu egois. Dan aku sama sekali tidak mampu menyalahkan pria itu karena ia berusaha menebusnya dengan mengorbankan dirinya supaya perusahaan gelapku ini masih tetap bertahan. Lantas, apa aku tetap harus membencinya karena masa SMP dulu itu?" Tanya pria paruh baya itu lagi.

Don masih menundukkan kepalanya. Ia masih merasa tidak enak. ia begitu merasa sakit karena ia yang membenci orang-orang jahat, justru ia sendiri pernah menjadi orang jahat yang tidak memikirkan perasaan Dani, bahkan pria yang kini menjadi ayah tiri Ari itu.

"Semuanya sudah berlalu, Don. Jangan ungkit masalah itu lagi. Percuma saja. Tidak akan mengubah apapun. Tidak akan mengubah masa laluku. Tidak akan mengubah segalanya dengan obrolan kita ini." Bos mafia itu berusaha supaya tidak meneteskan air matanya. Hatinya ternyata masih begitu sakit dengan kejadian lebih dari dua puluh tahun itu. Terlebih saat dirinya masih remaja dulu.

"Ijinkan aku memperbaiki sikapku, pak. Beritahu padaku, apa yang harus kulakukan supaya bapak mau memaafkan aku. Dan membuat hubungan ini tidak renggang. Aku ingin supaya bapak tidak melihatku hanya sebagai seorang budak seks seperti waktu itu." Don kini berjalan menuju belakang pria paruh baya itu.

"Anak itu, Don. Anak jalanan yang sengaja kamu pinta orangku carikan. Dia sama sepertiku. Anak malang yang harus hidup di kerasnya jalanan karena korban keegoisan. Aku ingin kamu memastikan hidupnya jauh lebih baik tanpa harus terlibat dalam dunia gelap. Itu yang aku ingin kamu lakukan supaya aku dapat memaafkanmu."

"Tentu, pak. Aku ingin lakukan itu."

Lantas Don pun memeluk pria itu dari belakang. Kepala pria itu disandarkan ke punggung pria renta itu. Pria renta itu merasakan punggungnya yang berat itu basah dengan air mata. Sedangkan Don yang bersandar di bagian belakang tubuh bos mafia itu merasakan tubuh pria yang dipeluknya itu bergetar karena sedang menangis sesegukan.

Guratan Kehidupan S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang