VOL. [1] - 1 - Lempem

1.4K 19 5
                                    

(Waktu: ??? — Lokasi: ???)

Orang itu menyeret dirinya.

Secepat sisa-sisa tenaganya. Ia tak paham kenapa kakinya begitu lemas, tak bisa menopangnya; seakan lumpuh.

Lengannya sudah pegal sekali, juga sakit karena beradu dengan lantai beton dengan setiap seretan.

Matanya dikejap-kejapkan, pedih oleh keringat. Memicing, berusaha melihat sekitarnya yang gelap.

Kepalanya berat.

Ia bergeleng-geleng, berusaha mengusir kabut yang menyelimuti pikiran. Kenapa sulit sekali berkonsentrasi?

Ia menyeret dirinya lebih jauh.

Dimanakah dirinya?

Kenapa ruangan ini tak berjendela? Panas dan pengap sekali. Diambilnya napas dalam. Seketika, debu di udara membuatnya terbatuk-batuk.

Batuknya bergema.

Terkejut, ia mendongak.

Itu ... semburat cahaya?

Dia berusaha memahami penglihatannya. Dihitungnya ada tujuh, bukan, sebelas semburat cahaya berbentuk seperti jejeran bumerang raksasa.

Lampu? Ah, bukan, itu barisan jendela di langit-langit; tinggi sekali di atas sana.

Dipicingkan lagi matanya.

Sepertinya ... jaraknya sejauh empat, ... bukan, lima lantai?

Disekap di manakah dia?

Pabrik?

Hanggar pesawat?

Tiba-tiba, terdengar derik pintu logam dibuka kasar yang menggema jauh dari belakangnya; disusul dengan langkah kaki berat yang gemanya kian mendekat.

Jantungnya berpacu kencang.

Instingnya menjeritkan satu kata: bahaya.

Di mana ia akan aman bersembunyi??

Ia memindai sekitarnya lagi. Tak sampai tiga meter di kirinya ada ruangan berjendela. Kok, dia tak melihatnya sedari tadi?

Terengah-engah ia menyeret dirinya lebih cepat ke dalam ruangan itu. Sekilas, matanya menangkap tumpukan-tumpukan balok-balok panjang besar warna-warni di luar jendela.

Cahaya jingga lampu dari luar jendela pecah itu membantunya melihat isi ruangan.

Lemari arsip besi.

Kursi beroda.

Meja!

Ia mengerahkan ujung penghabisan tenaganya, menyeret badannya ke kolong meja di bawah jendela. Susah sekali kakinya digerakkan. Lalu ditariknya kursi beroda tadi untuk menutupi dirinya.

Entah memang ia mencium aroma laut, dan mendengar samar deburan ombak; atau pikirannya bernostalgia ke saat dia dulu bertamasya ke Pantai Parangtritis.

Ia bersandar dengan lunglai, dan memejamkan mata.

Sudahlah, .... aku sudah nggak kuat ....

Tangannya merogoh sesuatu di kantong celananya, dan mengeluarkan secarik kertas kumal tebal yang lecek. Jemarinya yang gemetaran mengangkat kertas itu ke wajahnya.

Telunjuknya mengelus wajah yang tercetak di kertas itu penuh emosi. Air matanya bergulir deras. Ia menahan sedu yang mencekat tenggorokan.

Maafin, ya .... Mungkin nggak bisa ketemu lagi.

Buru-buru ia melahap kertas itu, hendak menelannya bulat-bulat. Ah, otot pipinya lemas sekali. Sempatkah dia?

Detik berikutnya, kursi di sampingnya ditarik menjauh.

Lalu, semuanya menjadi gelap.

* * *

Sosok itu meludah ke samping tubuh yang terlungkup di hadapannya.

Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya; satu yang mendominasi:

Siapa saja yang tahu?

Kakinya membalikkan tubuh itu hingga berbaring. Disenternya wajah yang kini tanpa ekspresi. Matanya menangkap sesuatu di dalam mulutnya yang ternganga.

Berjongkok, sosok itu menarik keluar segumpal kertas tebal berlumur liur, lalu membukanya. Pinggiran kertas yang usang dan mengelupas, serta latar Candi Borobudur yang tercetak tak dipedulikannya.

Cuma satu yang menarik perhatiannya:

Wajah ceria itu.

* * *

Miss Bakwan & 3 Men [Romantic Suspense & Thriller - 𝔻𝕌𝕆𝕃𝕆𝔾𝕀]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang