Sepuluh

19.2K 741 19
                                        

Sebelumnya, Anya begitu memahami untuk apa dia hidup. Menjadi anak yang berbakti, menjadi istri yang sempurna, dia merasa dirinya akan hidup tenang setelah mati nanti jika dia memenuhi dua hal itu.

Naasnya, dia hanya tertipu oleh kenaifannya sendiri.

"Kamu lebih banyak diam hari ini. Kenapa?"

Nadia bertanya dengan khawatir. Sejak mereka pulang siang sebelumnya, Anya tak banyak bicara hingga makan malam saat itu. Memang benar, Anya cukup cuek untuk beberapa waktu. Namun, saat itu, Anya seperti orang lain.

Nadia sedikit gelisah. Dia ingat dirinya tak mengunci pintu kamar. Dia menduga-duga apakah Anya sempat masuk ke kamarnya? Tapi dia tak yakin, sebab sedikit pun sampah di kamarnya tidak diberesi.

Tak ada barang yang seperti bertukar tempat. Sedangkan Anya, melihat sampah sedikit saja, matanya sudah gatal. Kecuali jika Anya sengaja masuk hanya untuk menyelidiki sesuatu, tapi apakah itu mungkin?

Nadia mengenal Anya sangat baik. Mustahil untuk orang seperti Anya mencurigai ibu kandungnya sendiri. Bukankah Anya adalah anak yang sangat percaya dan menyayangi ibunya sepenuh hati?

Jika Anya mencurigai ibunya sedikit saja, anak itu pasti akan merasa bersalah dan meminta maaf pada ibunya karena telah berani berprasangka buruk.

Nadia hanya tidak tahu bahwa, Anya memiliki kemampuan untuk meletakkan barang yang sudah diberesi untuk ditata lagi seperti sedia kala.

Jurusan intel tak boleh diremehkan. Dan Nadia sudah kelewatan meremehkan Anya selama ini hanya karena Anya sangat percaya padanya.

Sementara itu, Raymond yang makan dengan lahap di samping Anya seperti tidak menyadari apa pun. Jelas saja. Dia merasa terbiasa dengan kebodohan Anya selama ini.

"Datang bulanku kali ini nyeri. Maaf bikin Mama khawatir." Anya tersenyum. Lalu menghela napas sambil memasang ekspresi sedih. "Padahal aku udah berharap bulan ini hamil. Tapi ternyata Tuhan masih belum kasih izin. Kenapa, ya? Apa jangan-jangan, Tuhan merasa kalau aku belum pantas jadi ibu?"

"Bicara apa kamu?" sahut Raymond sambil masih melahap makan makamnya dengan tenang. "Wanita sempurna seperti kamu, kenapa masih belum pantas? Tuhan pasti hanya mengatur waktu yang tepat untuk kita punya anak."

Anya selalu terenyuh setiap Raymond berusaha menghiburnya setiap dia merasa inferior. Tapi malam itu, untuk pertama kali, dia seperti baru saja mendengar orang paling bodoh berbicara soal Tuhan.

"Ray benar. Anak Mama yang sesempurna ini nggak mungkin nggak pantas. Percayalah, Ann. Hal terbaik akan diberi di waktu terbaik pula."

Orang bodohnya bertambah dua.

"Terima kasih." Anya tersenyum. "Aku selalu beruntung punya suami dan ibu seperti kalian berdua."

Ketika larut malam, Raymond seperti gelisah. Berkali-kali dia melihat ke arah Anya yang sudah terlelap nyenyak, memastikan Anya benar-benar sudah hanyut dalam mimpi. Anya bukan orang yang mudah bangun jika seseorang di sampingnya beranjak dari kasur. Kalaupun Anya melihat Raymond tak ada di sisinya saat tengah malam, wanita itu pasti akan mengira bahwa Raymond pergi ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaan.

Anya sangat memercayai suaminya. Jika Anya merasa curiga, dia pasti akan lebih dulu merasa bersalah dan meminta maaf pada suaminya karena sudah curiga.

Karena Anya benar-benar sudah terlelap, Raymond akhirnya bangkit perlahan. Berkali-kali mencoba memastikan, Raymond akhirnya yakin Anya bisa ditinggal. Lekas pria itu melesat keluar dari kamarnya. Alih-alih menenangkan diri di halaman belakang yang asri dan damai, Raymond justru pergi mengetuk pintu kamar ibu mertuanya.

Bitter Sweet PervertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang